Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisi PDI-P: Prabowo Harusnya Paham Intelijen Sekarang Tak Seperti Era Soeharto

Kompas.com - 15/01/2019, 22:08 WIB
Ihsanuddin,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi I DPR Charles Honoris menilai pidato Prabowo Subianto bertajuk "Indonesia Menang", Senin (14/1/2019), mengandung banyak ilusi yang dipengaruhi oleh sejarah masa lalunya.

Salah satunya terkait pernyataan bahwa 'intelijen negara jangan intelin mantan Presiden'.

"Prabowo seharusnya paham bahwa intelijen negara saat ini tidak seperti era Soeharto, dimana dia sebagai salah satu petinggi ABRI sekaligus menantu presiden, menjadi bagian di dalamnya," kata Charles dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/1/2019).

Baca juga: Prabowo: Inteli Musuh Negara, Jangan Inteli Mantan Presiden

Menurut Charles, sejarah mencatat, di era Soeharto, Prabowo bukan hanya telah menginteli, tetapi juga terbukti bertanggung jawab terhadap penculikan para aktivis yang sebagian masih hilang hingga sekarang.

"Ibu Megawati Soekarnoputri, seorang perempuan yang sudah ‘kenyang’ dinteli dan dibatasi ruang geraknya karena menjadi oposan Soeharto, saja tidak pernah teriak-teriak tentang apa yang beliau derita saat itu," kata Charles.

Baca juga: Tim Jokowi-Maruf: Prabowo seperti Tuduh TNI, Polri, dan Intelijen Tak Netral

"Lah, ini ada seorang jenderal yang justru pernah menjadi pelaku pada rezim otoriter dulu, sekarang malah berteriak-teriak 'jangan intelin' rekan-rekannya, yang sebagiannya juga adalah jenderal. Ini kan lucu," sambung politisi PDI-P ini.

Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris.Fabian Januarius Kuwado Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris.

Terlebih, lanjut Charles, Prabowo juga tidak menunjukkan bukti apa-apa bahwa rekan-rekannya telah diinteli. Charles mengingatkan Prabowo bahwa sudah era reformasi dan keterbukaan.

Setiap orang yang merasa diinteli bisa menempuh jalur hukum jika mendapat perlakuan sewenang-wenang/tidak sesuai prosedur oleh aparat negara.

"Lagian Prabowo kan juga punya fraksi di DPR, yang bisa melakukan pengawasan terhadap kerja-kerja aparat negara. Jadi jangan dibayangkan sekarang seperti era Orba dulu, di mana presiden dan menantu kompak membungkam suara-suara kritis," ujar Charles.

Baca juga: Tim Jokowi Tantang Prabowo Buka-bukaan soal Penculikan Aktivis saat Debat

Sebelumnya, Prabowo menyinggung soal intelijen yang memata-matai mantan presiden

Awalnya, Prabowo bicara soal keharusan bagi Indonesia untuk memiliki penegak hukum dan aparat yang unggul dan jujur, baik dari unsur hakim, jaksa, polisi, maupun intelijen.

"Kita butuh Intel yang unggul dan setia pada bangsa dan negara," kata Prabowo.

Baca juga: Prabowo Dianggap Terlalu Sadis Sepelekan Ketahanan Keamanan Negara

"Intelijen itu intelin musuh negara, jangan intelin mantan presiden Indonesia," tambah mantan Danjen Kopassus ini.

Selain kepada mantan presiden, Prabowo juga menyinggung intel yang memata-matai tokoh-tokoh lain.

"Jangan intelin mantan ketua MPR. Jangan intelin anaknya proklamator. Jangan intelinmantan panglima, jangan intelin ulama besar kita," ujar Ketua Umum Partai Gerindra ini.

Kompas TV Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman mengkritik pidato kebangsaan Prabowo Subianto Senin Malam kemarin, Sohibul menilai durasi pidato Prabowo terlalu lama. Dalam pidato kebangsaannya Prabowo Subianto memaparkan visi misi Pilpres 2019 dan permasalahan bangsa saat ini dengan durasi kurang lebih satu setengah jam. Durasi ini dinilai presiden PKS terlalu lama sehingga penyampaian isi pidato dianggap tidak fokus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com