Konsultasi penyusunan perpres
Arsul mengatakan, penyusunan isi Perpres terkait pelibatan TNI memang menjadi kewenangan dari pemerintah. Meski demikian pemerintah wajib berkonsultasi dengan DPR sebelum penerbitan perpres.
Konsultasi tersebut menjadi ranah Komisi I yang membidangi masalah pertahanan dan Komisi III terkait bidang hukum.
Ketentuan mengenai rapat konsultasi tercantum dalam penjelasan Pasal 43I UU Antiterorisme.
Arsul menjelaskan, terkait penyusunan perpres, DPR memiliki kewajiban untuk memastikan subtansi perpres tidak keluar dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Selain itu, sesuai UU TNI, pengerahan kekuatan militer untuk melakukan operasi militer selain perang (OMSP) harus berdasarkan keputusan politik negara atau antara presiden dan DPR.
Oleh sebab itu, Arsul berpendapat bahwa rapat konsultasi bersifat mengikat.
"Menurut saya mengikat karena kalau Perpresnya tidak disetujui DPR masih berlaku ketentuan dalam Pasal 7 ayat 3 UU TNI jo. UU Pertahanan Negara di mana keputusan politik negara oleh Presiden untuk melibatkan TNI itu harus dikonsultasikan dengan DPR, baik sebelumnya atau dalam jangka waktu tiga hari setelah pelibatan," tuturnya.
Selain itu, kata Arsul, tujuan dari konsultasi tersebut agar presiden tidak perlu meminta persetujuan DPR tiap kali akan melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.
"Sepanjang pelibatannya dalam koridor yang diatur Perpres yang sudah dikonsultasikan tersebut," kata Arsul.
Pemerintah diminta hati-hati
Rencana pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme juga mendapat tanggapam dari kalangan masyarakat sipil.
Pemerintah diminta hati-hati saat merumuskan perpres yang akan menjadi aturan pelaksana UU Antiterorisme.
Koordinator Program Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai pasal pelibatan TNI dalam UU Antiterorisme berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif dan keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system).
"Untuk itu, pemerintah perlu hati-hati dan cermat dalam merumuskan tentang pelibatan TNI dalam perpres sebagai aturan pelaksana ini nantinya," ujar Julius saat dihubungi, Minggu (27/5/2018).
Baca juga: Susun Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme, Pemerintah Harus Konsultasi dengan DPR
Menurut Julius, pemerintah harus memastikan implementasi penanganan terorisme tetap berada dalam koridor penegakan hukum.
Dengan demikian pemerintah tetap menjadikan prinsip hak asasi manusia (HAM) sebagai dasar penanganan terorisme.
"Negara tidak hanya mempunyai hak tetapi juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi, atau membenarkan pelanggaran HAM," tuturnya.