Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Tugas dan Fungsi TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme?

Kompas.com - 28/05/2018, 17:14 WIB
Kristian Erdianto,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana pelibatan TNI dalan mengatasi terorisme kembali mengemuka pasca-serangkaian aksi terorisme yang terjadi sejak awal Mei ini.

Tak lama berselang, pemerintah berencana mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) yang berisi satuan elite dari tiga matra di TNI.

Di sisi lain, Pemerintah dan DPR telah menyepakati pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme).

UU yang baru disahkan di DPR pada Rapat Paripurna, Jumat (25/5/2018) lalu, mengatur ketentuan mengenai pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme.

Baca juga: INFOGRAFIK: Pasal-pasal Penting dalam UU Antiterorisme

Pasal 43I UU Antiterorisme menyatakan tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP). Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaannya akan diatur dengan peraturan presiden (Perpres).

Lantas bagaimana tugas dan fungsi TNI agar upaya mengatasi persoalan terorisme tetap berada pada koridor penegakan hukum?

Dari pencegahan hingga penindakan

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyusun usulan draf perpres terkait pelibatan TNI dalam penanggulangan masalah terorisme.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5/2018) malam.KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5/2018) malam.
Hadi menegaskan bahwa penyusunan draf perpres mengacu pada Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).

Penerbitan Perpres juga akan sejalan dengan pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI.

Menurut Hadi, ketika Koopsusgab telah resmi dibentuk, maka satuan elite tersebut memiliki peran pencegahan, penindakan hingga pemulihan terkait aksi terorisme.

Baca juga: Siapa Jabat Komandan Koopsusgab TNI?

Koopsusgab merupakan komando gabungan yang terdiri dari tiga satuan elite, yakni Dansat 81 Gultor Kopassus TNI AD, Detasemen Jalamangkara TNI AL dan Detasemen Bravo 90 TNI AU.

"Operasi TNI dalam rangka mengatasi aksi terorisme itu utuh mulai dari pencegahan, penindakan dan pemulihan. Monitoring, cegah dini, deteksi dini sampai pada penindakan. Jadi semuanya itu akan dilaksanakan dalam satu kegiatan OMSP," ujar Hadi saat ditemui seusai rapat dengan Komisi I, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5/2018).

Hadi menjelaskan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme nantinya tergantung dari skala atau tingkat ancaman yang timbul dari suatu aksi teror.

Artinya, Koopsusgab hanya akan diterjunkan melalui operasi khusus untuk menghadapi aksi teror tingkat tinggi.

Basri alias Bagong dibawa dengan pengawalan ketat Satuan Tugas Tinombala 2016 di Poso, Sulawesi Tengah, Rabu (14/9/2016).KOMPAS.com/MANSUR Basri alias Bagong dibawa dengan pengawalan ketat Satuan Tugas Tinombala 2016 di Poso, Sulawesi Tengah, Rabu (14/9/2016).
Skala atau tingkat ancaman tersebut, kata Hadi, akan diatur secara detail dalam Perpres terkait pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme.

Menurut Hadi, pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme bukanlah suatu hal yang baru.

Ia mencontohkan peristiwa pembebasan sandera di Pesawat Garuda Indonesia yang dibajak pada 28 Maret 1981. Pesawat rute Jakarta-Medan yang dikenal dengan sebutan "Woyla" itu dikuasai kelompok yang menamakan diri Komando Jihad.

Kemudian pada 31 Maret 1981, pasukan Grup 1 Para Komando dari Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha, sekarang bernama Kopassus) yang dipimpin Letkol Infanteri Sintong Panjaitan melakukan operasi pembebasan di Bandara Mueang, Bangkok, Thailand.

Baca juga: Pemerintah Siapkan Perpres Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme, Ini Isinya...

Peristiwa lainnya yakni pembebasan Kapal MV Sinar Kudus yang dibajak perompak Somalia pada Maret 2011 lalu.

Aksi pembebasan serentak terhadap sandera dilakukan dengan mengerahkan pasukan yang terdiri dari 1 LPD, 1 helikopter, dan penambahan pasukan khusus dari Marinir, Kopassus, Kostrad, serta melibatkan Sandi Yudha.

"Salah satu contoh pada waktu pembebasan kapal yang ada di Somalia, lalu Woyla. Mungkin ada operasi lain yang mirip seperti itu," kata Hadi.

BKO Polri

Anggota Pansus revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) Arsul Sani menilai bahwa ketentuan pelibatan TNI dalam perpres dapat menggunakan pendekatan berbasis peristiwa.

Misalnya, aksi terorisme yang terjadi di atas kapal laut atau pesawat terbang Indonesia, di kantor perwakilan di luar negeri atau yang menyangkut kepentingan Indonesia di luar negeri dan terhadap kepala negara.

Selain itu, kata Arsul, mekanisme pelibatan TNI juga dapat menganut pendekatan skala ancaman. Artinya, TNI dapat terlibat jika skala ancaman aksi terorisme sudah mencapai pada level krisis atau gawat.

"Seperti yang dianut negara-negara Eropa Barat, ketika skala ancamannya sudah ditetapkan pada level krisis atau gawat, maka militer dilibatkan," ujar Arsul saat dihubungi, Minggu (27/5/2018).

Baca juga: Pansus: Pelibatan TNI Atasi Terorisme Harus Berdasarkan Skala Ancaman

Sementara, lanjut Arsul, jika ancaman aksi teroris masih berada di bawah level krisis maka pelibatan TNI hanya dimungkinkan ketika Polri meminta bantuan.

Dengan demikian, pelibatan TNI bersifat BKO atau di bawah kendali operasi Polri.

"Di luar peristiwa terorisme yang ditetapkan TNI bisa langsung terlibat, maka peristwa-peristiwa yg lain sifatnya BKO," kata Arsul.

Konsultasi penyusunan perpres

Arsul mengatakan, penyusunan isi Perpres terkait pelibatan TNI memang menjadi kewenangan dari pemerintah. Meski demikian pemerintah wajib berkonsultasi dengan DPR sebelum penerbitan perpres.

Konsultasi tersebut menjadi ranah Komisi I yang membidangi masalah pertahanan dan Komisi III terkait bidang hukum.

Ketentuan mengenai rapat konsultasi tercantum dalam penjelasan Pasal 43I UU Antiterorisme.

Anggota Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi PPP Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5/2018).KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO Anggota Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi PPP Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/5/2018).
"Penjelasan pasal yang bersangkutan menyatakan bahwa dalam penerbitan Perpres dikonsultasikan dengan DPR," ujar Arsul saat dihubungi, Minggu (27/5/2018).

Arsul menjelaskan, terkait penyusunan perpres, DPR memiliki kewajiban untuk memastikan subtansi perpres tidak keluar dari ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Selain itu, sesuai UU TNI, pengerahan kekuatan militer untuk melakukan operasi militer selain perang (OMSP) harus berdasarkan keputusan politik negara atau antara presiden dan DPR.

Oleh sebab itu, Arsul berpendapat bahwa rapat konsultasi bersifat mengikat.

"Menurut saya mengikat karena kalau Perpresnya tidak disetujui DPR masih berlaku ketentuan dalam Pasal 7 ayat 3 UU TNI jo. UU Pertahanan Negara di mana keputusan politik negara oleh Presiden untuk melibatkan TNI itu harus dikonsultasikan dengan DPR, baik sebelumnya atau dalam jangka waktu tiga hari setelah pelibatan," tuturnya.

Selain itu, kata Arsul, tujuan dari konsultasi tersebut agar presiden tidak perlu meminta persetujuan DPR tiap kali akan melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme.

"Sepanjang pelibatannya dalam koridor yang diatur Perpres yang sudah dikonsultasikan tersebut," kata Arsul.

Pemerintah diminta hati-hati

Rencana pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme juga mendapat tanggapam dari kalangan masyarakat sipil.

Pemerintah diminta hati-hati saat merumuskan perpres yang akan menjadi aturan pelaksana UU Antiterorisme.

Koordinator Program Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai pasal pelibatan TNI dalam UU Antiterorisme berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif dan keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system).

"Untuk itu, pemerintah perlu hati-hati dan cermat dalam merumuskan tentang pelibatan TNI dalam perpres sebagai aturan pelaksana ini nantinya," ujar Julius saat dihubungi, Minggu (27/5/2018).

Baca juga: Susun Perpres Pelibatan TNI Atasi Terorisme, Pemerintah Harus Konsultasi dengan DPR

Menurut Julius, pemerintah harus memastikan implementasi penanganan terorisme tetap berada dalam koridor penegakan hukum.

Dengan demikian pemerintah tetap menjadikan prinsip hak asasi manusia (HAM) sebagai dasar penanganan terorisme.

"Negara tidak hanya mempunyai hak tetapi juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk menutupi, atau membenarkan pelanggaran HAM," tuturnya.

Di sisi lain, kata Julius, perlindungan terhadap hak asasi sesungguhnya merupakan esensi dari konsep keamanan itu sendiri (human security).

Ia mengatakan, dalam menyusun kebijakan antiterorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar.

Negara harus menempatkan perlindungan terhadap 'liberty of person' dalam titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap 'security of person'.

"Dengan demikian, upaya untuk menjaga keamanan tidak boleh menegasikan esensi dari keamanan itu sendiri yakni perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia," kata Julius.

Di sisi lain, Julius memandang pengerahan dan penggunaan Koopsusgab saat ini belum dibutuhkan.

Mengingat, aparat penegak hukum atau Polri masih mampu mengatasi dinamika ancaman terorisme saat ini.

"Pengerahan dan penggunaan Koopsusgab saat ini belumlah dibutuhkan mengingat dinamika ancaman terorisme di Indonesia sesungguhnya masih dapat ditangani oleh institusi penegak hukum," ujar Julius.

Menurut Julius, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme baru dapat dilakukan jika kondisi ancaman sudah mencapai level kritis.

Selain itu, TNI bisa dilibatkan bila Polri sebagai institusi penegak hukum menyatakan tidak dapat mengatasi ancaman teror tersebut.

"Pelibatan TNI baru dapat dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya," ucapnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Defense, Security, and Peace Studies Mufti Makarim meminta pemerintah tidak terjebak dalam wacana unjuk kekuatan militer terkait maraknya aksi teror yang terjadi belakangan ini.

Mufti berpendapat bahwa unjuk kekuatan militer seperti yang terlihat dari rencana pembentukan Koopsusgab TNI, tak akan efektif dalam menuntaskan akar permasalahan terorisme.

"Justru kalau kita memerangi teroris kita harus pakai logikanya teroris. Semakin kita show off, enggak ada efektivitasnya. Teroris ini kan sebagian besar operasi senyap, sementara satuan elite ini operasinya justru operasi terbuka," ujar Mufti saat dihubungi, Kamis (17/5/2018).

Menurut Mufti, seharusnya saat ini pemerintah fokus dalam membenahi kekurangan yang ada, baik dari sisi kelembagaaan maupun regulasi.

Ia menilai banyak persoalan yang justru tengah dialami oleh institusi penegak hukum terkait penanggulangan terorisme, seperti misal kurangnya jumlah personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.

Selain itu, ia juga menyoroti kurangnya dukungan intelijen dalam menyuplai informasi kepada Polri.

"Densus jumlahnya hanya ratusan orang, sementara yang harus dikejar itu ribuan. Sumber dayanya pun tersedot lebih banyak ke operasi penindakan, sementara dukungan intelijen kurang," kata dia.

Persoalan lain yang tak kalah pentingnya, lanjut Mufti, adalah penguatan kapasitas seluruh lembaga intelijen yang dimiliki pemerintah.

Dalam jangka pendek, Ia memandang pemerintah perlu memperkuat Badan Intelijen Negara (BIN) dan intelijen teritorial TNI, dari sisi sumber daya, kemampuan dan peralatannya.

"jadi kalau memang mau ada dukungan ya hari ini polisi betul-betul membutuhkan sebanyak mungkin input dari intelijen," kata Mufti.

"Ya kita dorong saja Presiden sinergikan seluruh lembaga intelijen yang ada untuk membantu, bukan ujug-ujug bikin perintah tentara harus siap," ucapnya.

Kompas TV Pernyataan Choirul ini sekaligus meminta TNI menahan pengerahan Koopsusgab untuk membantu polri menangani terorisme.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Bawaslu Akui Tak Proses Laporan Pelanggaran Jokowi Bagikan Bansos dan Umpatan Prabowo

Nasional
Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami 'Fine-fine' saja, tapi...

Soal Usulan 4 Menteri Dihadirkan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Kami "Fine-fine" saja, tapi...

Nasional
e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

e-Katalog Disempurnakan LKPP, Menpan-RB Sebut Belanja Produk Dalam Negeri Jadi Indikator RB

Nasional
Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Menteri PDI-P dan Nasdem Tak Hadiri Buka Puasa Bersama Jokowi, Menkominfo: Lagi Ada Tugas di Daerah

Nasional
MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

MK Buka Kans 4 Menteri Jokowi Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Kubu Ganjar-Mahfud Minta MK Hadirkan Sri Mulyani dan Risma di Sidang Sengketa Pilpres

Nasional
4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

4 Jenderal Bagikan Takjil di Jalan, Polri: Wujud Mendekatkan Diri ke Masyarakat

Nasional
Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Berkelakar, Gus Miftah: Saya Curiga Bahlil Jadi Menteri Bukan karena Prestasi, tetapi Lucu

Nasional
Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Dua Menteri PDI-P Tak Hadiri Bukber Bareng Jokowi, Azwar Anas Sebut Tak Terkait Politik

Nasional
Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Tak Cuma Demokrat, Airlangga Ungkap Banyak Kader Golkar Siap Tempati Posisi Menteri

Nasional
Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Menko Polhukam Pastikan Pengamanan Rangkaian Perayaan Paskah di Indonesia

Nasional
Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Enam Menteri Jokowi, Ketua DPR, Ketua MPR, dan Kapolri Belum Lapor LHKPN

Nasional
Soal Pengembalian Uang Rp 40 Juta ke KPK, Nasdem: Nanti Kami Cek

Soal Pengembalian Uang Rp 40 Juta ke KPK, Nasdem: Nanti Kami Cek

Nasional
Kubu Anies-Muhaimin Minta 4 Menteri Dihadirkan Dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Kubu Anies-Muhaimin Minta 4 Menteri Dihadirkan Dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Selain Menteri PDI-P, Menteri dari Nasdem dan 2 Menteri PKB Tak Ikut Buka Puasa Bersama Jokowi

Selain Menteri PDI-P, Menteri dari Nasdem dan 2 Menteri PKB Tak Ikut Buka Puasa Bersama Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com