Di sisi lain, kata Julius, perlindungan terhadap hak asasi sesungguhnya merupakan esensi dari konsep keamanan itu sendiri (human security).
Ia mengatakan, dalam menyusun kebijakan antiterorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar.
Negara harus menempatkan perlindungan terhadap 'liberty of person' dalam titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap 'security of person'.
"Dengan demikian, upaya untuk menjaga keamanan tidak boleh menegasikan esensi dari keamanan itu sendiri yakni perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia," kata Julius.
Di sisi lain, Julius memandang pengerahan dan penggunaan Koopsusgab saat ini belum dibutuhkan.
Mengingat, aparat penegak hukum atau Polri masih mampu mengatasi dinamika ancaman terorisme saat ini.
"Pengerahan dan penggunaan Koopsusgab saat ini belumlah dibutuhkan mengingat dinamika ancaman terorisme di Indonesia sesungguhnya masih dapat ditangani oleh institusi penegak hukum," ujar Julius.
Menurut Julius, pelibatan TNI dalam penanganan terorisme baru dapat dilakukan jika kondisi ancaman sudah mencapai level kritis.
Selain itu, TNI bisa dilibatkan bila Polri sebagai institusi penegak hukum menyatakan tidak dapat mengatasi ancaman teror tersebut.
"Pelibatan TNI baru dapat dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya," ucapnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Defense, Security, and Peace Studies Mufti Makarim meminta pemerintah tidak terjebak dalam wacana unjuk kekuatan militer terkait maraknya aksi teror yang terjadi belakangan ini.
Mufti berpendapat bahwa unjuk kekuatan militer seperti yang terlihat dari rencana pembentukan Koopsusgab TNI, tak akan efektif dalam menuntaskan akar permasalahan terorisme.
"Justru kalau kita memerangi teroris kita harus pakai logikanya teroris. Semakin kita show off, enggak ada efektivitasnya. Teroris ini kan sebagian besar operasi senyap, sementara satuan elite ini operasinya justru operasi terbuka," ujar Mufti saat dihubungi, Kamis (17/5/2018).
Menurut Mufti, seharusnya saat ini pemerintah fokus dalam membenahi kekurangan yang ada, baik dari sisi kelembagaaan maupun regulasi.
Ia menilai banyak persoalan yang justru tengah dialami oleh institusi penegak hukum terkait penanggulangan terorisme, seperti misal kurangnya jumlah personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror.
Selain itu, ia juga menyoroti kurangnya dukungan intelijen dalam menyuplai informasi kepada Polri.
"Densus jumlahnya hanya ratusan orang, sementara yang harus dikejar itu ribuan. Sumber dayanya pun tersedot lebih banyak ke operasi penindakan, sementara dukungan intelijen kurang," kata dia.
Persoalan lain yang tak kalah pentingnya, lanjut Mufti, adalah penguatan kapasitas seluruh lembaga intelijen yang dimiliki pemerintah.
Dalam jangka pendek, Ia memandang pemerintah perlu memperkuat Badan Intelijen Negara (BIN) dan intelijen teritorial TNI, dari sisi sumber daya, kemampuan dan peralatannya.
"jadi kalau memang mau ada dukungan ya hari ini polisi betul-betul membutuhkan sebanyak mungkin input dari intelijen," kata Mufti.
"Ya kita dorong saja Presiden sinergikan seluruh lembaga intelijen yang ada untuk membantu, bukan ujug-ujug bikin perintah tentara harus siap," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.