KOMPAS.com - "Mereka terus saja mempersilakan aku masuk mobil (warna dan mereknya lupa). Di dalam kendaraan, mereka langsung menutup mataku dengan kain hitam sehingga sulit mengenali, baik si penjemput, nomor polisi mobil, ke arah jalan mana dan ke tempat mana yang akan dituju" (Desmond J Mahesa, 23 April 1998)
Rangkaian peristiwa reformasi 1998 tak bisa dilepaskan dari sekian kisah penculikan terhadap para aktivis. Dua di antaranya, penculikan terhadap Desmond Junaedi Mahesa dan Pius Lustrilanang pada Februari 1998.
Kala itu, Desmond menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN), sementara Pius adalah aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera).
Hilangnya Desmond dan Pius dilaporkan sejumlah aktivis ke kepolisian pada 10 Februari 1998.
Kisah Desmond
Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 13 Mei 1998, Desmond mengungkapkan pengalaman penculikan yang dialaminya.
Kesaksian ini disampaikan Desmond pada 12 Mei 1998 didampingi Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir, anggota Komnas HAM Albert Hasibuan, Yusuf Pani, dan La Ode Baharsani (DPD Ikadin Banjarmasin).
Baca juga: 21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...
Saat itu, Desmond mengisahkan, penculikannya berawal pada 3 Februari 1998 di kawasan Cililitan Besar, Jakarta Timur.
Menurut Desmond, pada 3 Februari 1998 pukul 02.30 WIB, kantornya di Jalan Cililitan Kecil didatangi 8-10 orang.
Pagi harinya, pukul 08.00 WIB, kembali datang orang tak dikenal. Desmond mengaku tak curiga akan ada yang menimpanya.
"Kemudian, saya keluar kantor naik bus nomor 06 sampai di Kampung Melayu," kata dia.
"Antara LAI dan GMKI, saya dihadang dua orang yang menodong dengan senjata. Sesudah ditodong, saya bergerak, kacamata saya jatuh, saya sulit mengenali orang. Tetapi ada mobil Suzuki Vitara warna abu-abu di GMKI. Jatuhnya kacamata membuat saya tidak leluasa dapat bergerak karena mata saya minus dan silinder, jadi sulit untuk mengenal orang. Saya diringkus, dimasukkan mobil, kepala saya ditutup seperti tas hitam dan musik diputar keras-keras serta dihimpit dua orang. Sejak itu saya tidak tahu diputar-putar, setelah 50 menit saya sampai di suatu tempat," papar Desmond.
Baca juga: 20 Tahun Reformasi, Perempuan Dinilai Masih Terkekang Oligarki Politik
Selanjutnya, Desmond mengaku diborgol, matanya ditutup kain hitam. Selama tiga jam, ia diinterogasi tentang aktivitasnya.
"Setelah itu saya dibawa ke bak air. Setelah sempat disuruh menyelam, saya ditanya lagi soal sikap saya. Setelah selesai, saya dibawa ke sebuah ruangan dengan enam sel. Di situ sudah ada Yani Afri dan Sony, keduanya anak DPD PDI Jakut yang ditangkap Kodim Jakarta Utara soal peledakan bom di Kelapa Gading," demikian kesaksian Desmond saat itu.
Setelah sehari Desmond ditahan, Pius Lustrilanang masuk, disusul Haryanto Taslam.
Menurut Desmond, ada tawaran yang diberikan penculik kepadanya. Ia diminta mengaku bersembunyi di Garut. Desmond mengajukan skenario lainnya: pergi ke Irian Jaya untuk melakukan penelitian.
Akhirnya, ia diketahui kembali ke rumah orangtuanya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 3 April 1998.
Kesaksian soal penculikan yang dialaminya, kata Desmond, untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi.
Menurut dia, dirinya dan Pius diculik oleh orang yang punya organisasi rapi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.