JAKARTA, KOMPAS.com - Ruang sidang Cakra II di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/3/2018) ramai oleh pendukung dan kerabat Gubernur nonaktif Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Hampir dua jam jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan surat tuntutan.
Pengunjung sidang seketika terkejut saat jaksa membacakan amar tuntutan. Nur Alam yang tertunduk di kursi terdakwa dituntut pidana penjara selama 18 tahun.
Keluarga Nur Alam tampak cemas ketika tuntutan selesai dibacakan. Sejumlah kerabat yang menunggu di luar ruangan mulai masuk sambil bertanya-tanya kepada wartawan untuk memastikan mereka tidak salah mendengar.
Seusai hakim mengetuk palu tanda berakhirnya persidangan, sejumlah kerabat memeluk dan berjabat tangan dengan Nur Alam.
(Baca juga: Gubernur Sultra Nur Alam Dituntut 18 Tahun Penjara)
Tuntutan ini paling berat, setidaknya untuk kasus-kasus yang ditangani KPK dalam tiga tahun terakhir. Angka 18 tahun penjara mendekati pidana maksimal yakni 20 tahun penjara.
Nur Alam juga dituntut membayar denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
"Kami penuntut umum menuntut agar majelis hakim memutuskan menyatakan terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama dan berlanjut," ujar jaksa Subari Kurniawan saat membacakan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Tuntutan berat terhadap Nur Alam juga disebabkan karena politisi Partai Amanat Nasional itu didakwa dengan dua dakwaan. Nur Alam juga diyakini oleh jaksa menerima gratifikasi Rp 40,2 miliar dari Richcorp International.
(Baca: Tuntutan KPK untuk Gubernur Sultra Tertinggi di Antara Perkara-perkara Kepala Daerah)
Kerusakan lingkungan
Ada yang menarik dalam tuntutan jaksa kali ini. Perbuatan Nur Alam diduga telah merugikan keuangan negara Rp 4,3 triliun.
Namun, angka tersebut tidak sepenuhnya atas hasil perhitungan auditor negara. Sebab, salah satu yang dihitung adalah kerugian akibat kerusakan lingkungan.
Jaksa menilai perbuatan Nur Alam telah mengakibatkan musnahnya atau berkurangnya ekologi/lingkungan pada lokasi tambang di Pulau Kabena yang dikelola PT Anugrah Harisma Barakah.
"Ini untuk pertama kalinya digunakan untuk menghitung kerugian negara. Selanjutnya tinggal menunggu putusan majelis hakim," ujar jaksa Subari Kurniawan.
(Baca juga: Pertama Kalinya KPK Menilai Kerusakan Lingkungan sebagai Kerugian Negara)