JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pengkaji Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Oce Madril menjelaskan, perihal usulan penambahan kementerian yang belakangan menjadi pembicaraan.
Oce Madril mengatakan, wacana tersebut sebenarnya adalah sebuah kajian yang berkaitan dengan pembentukan kabinet presidensial, evaluasi, dan proyeksi konstitusional.
Menurut dia, kajian itu dilakukan dengan menunjuk sebuah tim dan hasilnya didiskusikan bersama pengurus daerah di 35 Provinsi. Lalu, ditetapkan dalam rakernas dan dijadikan sebagai rekomendasi dari konferensi nasional pada September 2023.
Oleh karena itu, Oce Madril mengatakan, kajian itu tidak spesifik bicara soal jumlah kementerian atau hal-hal teknis.
“Soal kabinet misalnya kami memiliki banyak catatan sebetulnya, tapi ada tujuh catatan yang menonjol. Ada soal bagaimana kabinet itu betul-betul dikembalikan pada porsi konstitusi, di mana kementerian itu harusnya melaksakan urusan pemerintahan tertentu yang disebut atau cakupannya ada di konstitusi,” katanya dalam program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV pada Rabu (8/5/2024).
Baca juga: Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis Disebut Diperlukan, Proyek Mercusuar Perlu Pengawasan
Namun, terkait jumlah kementerian, Oce mengatakan bahwa ada opsi dalam kajian APHTN-HAN. Pertama, tetap 34 kementerian tetapi nomenklaturnya diubah karena harus mengakomodasi urusan-urusan pemerintahan yang belum tercakup saat ini.
Kedua, apabila ditambah, maka jumlah yang pas antara 34 sampai 41 kementerian. Dengan pertimbangan urusan-urusan pemerintahan yang ada di konstitusi harus ditampung.
“Kalau kita lihat di konstitusi, memang ada banyak sekali urusan pemerintahan yang disebut dan diatur dalam konstitusi tetapi itu nampaknya belum tercakup dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara,” ujar Oce Madril.
Dia lantas mencontohkan urusan pemerintahan yang disebutkan dalam konstitusi tetapi belum tercakup atau diurus secara serius, seperti soal pengelolaan daerah perbatasan dan pulau-pulau terluar, masyarakat adat, jaminan sosial, serta perpajakan dan penerimaan negara.
Menurut dia, terkait masyarakat adat disebutkan dalam Pasal 18 UUD 1945. Tetapi, Oce menyebut bahwa tidak ada kementerian yang serius menangani masalah tersebut.
Baca juga: Jumlah Kementerian sejak Era Gus Dur hingga Jokowi, Era Megawati Paling Ramping
Demikian juga, terkait pulau-pulau terluar, disebut tidak ada kejelasan kementerian yang menanganinya. Padahal, diatur dalam bab Wilayah Negara Pasal 25A UUD 1945.
Oleh karena itu, Oce menekankan bahwa kajian APHTN-HAN menitikberatkan pada nomenklatur kementerian. Sebab, dinilai masih ada urusan-urusan pemerintahan yang tertulis dalam konstitusi tetapi tidak ada di tingkat kementerian.
“Jadi, kalau nanti skemanya 34 maka nomenklatur sebaiknya diubah supaya urusan-urusan, misalnya pengelolaan perbatasan dan pulau terluar itu tercakup atau urusan-urusan kebudayaan dan perpajakan itu di tangani di tingkat kementerian,” katanya.
Sementara itu, apabila pilihannya menambah jumlah kementerian, maka UU Kementerian Negara harus diubah. Sebab, ada batasan jumlah kementerian dalam regulasi tersebut.
"Terkait dengan apakah nanti jumlahnya bertambah atau tidak, menurut kami, tetap basisnya adalah urusan pemerintahan yang disebut di konstitusi. Ada sebetulnya banyak sekali urusan yang disebut yang menurut kami belum tercakup di dalam nomenklatur yang sekarang,” ujar Oce Madril.
Baca juga: Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final