Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

AM Fatwa, Sosok Keras Kepala yang Ditahan Orba atas Tuduhan Subversif

Kompas.com - 14/12/2017, 16:25 WIB
Bayu Galih

Penulis

KOMPAS.com - Mengenang Andi Mappetahang Fatwa yang tutup usia hari ini, Kamis (14/12/2017), maka akan terbayang sosoknya yang tegas, berani, bahkan terbilang keras kepala.

Dilansir dari dokumen Harian Kompas, karakter ini sudah melekat sejak kecil, hingga ayah dari pria yang dikenal sebagai AM Fatwa itu menjulukinya "si kepala batu".

Namun, semasa rezim Orde Baru AM Fatwa mendapat julukan yang lebih keras lagi: "si kepala granit". Julukan yang didapatnya karena kerap melontarkan kritik terhadap rezim Presiden Soeharto.

Bisa dibilang bahwa AM Fatwa merupakan korban dari politik yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila, yang diterapkan oleh rezim Soeharto. Di periode 1980-an, Soeharto memang mendapatkan perlawanan keras dari kelompok Islam yang saat itu menolak Pancasila sebagai asas tunggal.

Latar belakang penetapan Pancasila sebagai asas tunggal sendiri bernuansa politik. Sebab, Partai Persatuan Pembangunan, yang pada periode awal 1980-an masih berlambang kabah dan berasaskan Islam, dikhawatirkan akan menggerus suara Golongan Karya sebagai kendaraan politik Soeharto. Apalagi, dalam Pemilu 1977, 1982, dan 1987, PPP berhasil menang di Ibu Kota.

Wacana Pancasila sebagai asas tunggal pun disuarakan pemerintahan Soeharto. Hingga kemudian, wacana itu diterapkan menjadi aturan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.

Adapun peristiwa yang menjadi momentum penolakan Pancasila sebagai asas tunggal adalah Tragedi Tanjung Priok pada 12 September 1984.

Sedangkan AM Fatwa merupakan orang yang divonis penjara 18 tahun oleh pengadilan atas tuduhan subversif, dan dianggap bertangung jawab atas terjadinya Tragedi Tanjung Priok.

(Baca juga: AM Fatwa dalam Kenangan, Dipenjara Berkali-kali tapi Tak Dendam)

Tuduhan subversi

Meski dikenal publik setelah menjadi tahanan politik pasca-Tragedi Tanjung Priok, namun bukan kali itu saja AM Fatwa berurusan dengan aparat Orde Baru. Pria kelahiran Bone pada 12 Februari 1939 itu pernah ditahan aparat Orba karena khotbahnya pada Shalat Idul Fitri di Pulo Mas, Jakarta Timur pada 1979 dianggap subversif.

Harian Kompas yang terbit pada 7 September 1979 menulis bahwa AM Fatwa sempat mendekam di tahanan Laksusda Jaya selama sembilan hari sejak 29 Agustus 1979, akibat khotbahnya.

Belum diketahui apa isi khotbah yang membuat panas kuping penguasa saat itu. Namun, penelusuran Kompas.com, khotbah itu berjudul "Para Pemimpin Sadar dan Istighfarlah".

Upacara penghormatan terakhir Senator DKI Jakarta, AM Fatwa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/12/2017).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Upacara penghormatan terakhir Senator DKI Jakarta, AM Fatwa di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Tidak hanya ditahan, AM Fatwa pun dipecat dari pekerjaannya sebagai karyawan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Pria berdarah bangsawan Bone itu dipecat berdasarkan SK Mendagri Nomor 813.188-247 sejak akhir September 1979.       

Khotbah dan aktivitas politik AM Fatwa semakin dipantau oleh rezim Orba. Apalagi, setelah itu dia bergabung dengan Petisi 50. Kelompok oposisi itu memang dikenal bersikap sangat keras terhadap rezim Soeharto.

Meski keras, Petisi 50 juga disegani pemerintah, karena beranggotakan sejumlah tokoh seperti pahlawan revolusi AH Nasution, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, eks pemimpin Masyumi Mohammad Natsir, dan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso

Kelak, tuduhan subversif yang dituduhkan pemerintah Soeharto juga tidak jauh terkait aktivitas AM Fatwa di Petisi 50.

(Baca juga: SBY: AM Fatwa adalah Sosok yang Kritis)

Perihal awal mula tuduhan, setelah Tragedi Tanjung Priok terjadi, pemerintah dinilai tidak berhasil memberikan penjelasan transparan kepada masyarakat terkait peristiwa berdarah itu. Petisi 50 kemudian menerbitkan "Lembaran Putih" yang memberikan penjelasan berbeda dengan yang disampaikan pemerintah.

AM Fatwa yang ikut menyusun "Lembaran Putih" itu kemudian terkena jeratan pasal subversi. Aparat tidak sekadar mempermasalahkan keterlibatan Fatwa dalam menyusun "Lembaran Putih", namun aktivitas yang dianggap memprovokasi masyarakat Tanjung Priok.

Harian Kompas yang terbit pada 6 September 1985 menulis, AM Fatwa didakwa dengan tuduhan "melakukan serangkaian forum khotbah, ceramah, dan pertemuan yang merongrong dan menyelewengkan ideologi negara, kewibawaan pemerintah atau menyebarkan rasa permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat.

Jaksa juga mempermasalahkan kehadiran AM Fatwa dalam pertemuan di rumah Ali Sadikin pada 15 September 1984, yang menghasilkan "Lembaran Putih". Adapun pertemuan itu juga dihadiri Hoegeng, Suyitno Sukirno, Syafruddin Prawiranegara, HM Sanusi, Anwar Haryono, serta Ali Sadikin sebagai tuan rumah.

(Baca juga: Sebelum Meninggal, AM Fatwa Tulis Sebuah Buku Biografi)

Anggota DPD RI, AM Fatwa di GOR Jakarta Utara, Sabtu (23/7/2016).KOMPAS.com/KAHFI DIRGA CAHYA Anggota DPD RI, AM Fatwa di GOR Jakarta Utara, Sabtu (23/7/2016).
Setelah serangkaian sidang, hakim memvonis AM Fatwa 18 tahun penjara pada Desember 1985.

Harian Kompas edisi 28 Agustus 1998 menyebut rangkaian sidang itu "spektakuler". Ini dikarenakan sidang berjalan panjang dari siang hingga malam, yang bahkan pernah membuat Fatwa pingsan.

Pleidoi AM Fatwa dalam sidang itu pun tercatat setebal 1.188 halaman. Tidak hanya itu, kuasa hukumnya, Adnan Buyung Nasution, dicabut izin praktiknya oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh atas tuduhan menghina peradilan.

"Saya gembira bukan karena dihukum 18 tahun. Tetapi, karena sudah dipertontonkan sebuah sandiwara pada Orde Baru ini," kata mantan aktivis PII dan HMI itu. 

(Baca juga: BJ Habibie: Saya Tidak Mau Berpisah dengan AM Fatwa...)

Tidak Anti-Pancasila

AM Fatwa keluar dari penjara pada 23 Agustus 1993, setelah menjalani hukuman sembilan tahun dari vonis 18 tahun yang diterimanya. Dilansir dari Harian Kompas edisi 27 Oktober 1995, sebelum keluar dari penjara AM Fatwa menulis sebuah kertas kerja yang menggambarkan pemikiran seorang tahanan politik.

Kertas kerja itu sendiri merupakan inisiatif Hendropriyono, yang saat itu menjabat Panglima Kodam Raya berpangkat Mayjen TNI. Inisiatif itu dibuat karena pemerintah ingin memahami pemikiran para tahanan politik.

Dalam kertas kerja itu, AM Fatwa menulis bahwa meski dituduh subversif dan melawan ideologi negara, dia mengaku tidak anti terhadap Pancasila.

"Saya menghayati dan mengamalkan Pancasila, justru saya seorang Muslim," demikian judul kertas kerja yang ditulis AM Fatwa.

(Baca juga: Cerita Anies tentang AM Fatwa yang Kerap Menginap di Rumahnya di Jogja)

Anggota DPD AM FatwaIcha Rastika Anggota DPD AM Fatwa
Penegasan itu pun kembali dia tulis dalam serangkaian pemikirannya dalam kertas kerja tersebut.

"Garis politik saya berdasarkan Pancasila, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang senantiasa saya tempuh secara konstitusional." Inilah kalimat pertama dalam kertas kerja Fatwa.

"Dengan landasan dan garis ini, saya padukan, saya lebur dalam pengabdian hidup dan berjuang di jalan Allah, sebagai ibadah sesuai dengan keyakinan dan pandangan hidup seorang Muslim. Karena itu saya menerima dan mengamalkan Pancasila, justru saya seorang Muslim. Dengan demikian tidak timbul konflik pada diri saya."

(Baca juga: DPD Gelar Penghormatan Terakhir untuk AM Fatwa)

Deklarator PAN

Setelah keluar dari penjara, AM Fatwa tetap aktif dalam kegiatan keagamaan, juga politik. Setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998, aktivis Muhammadiyah itu tetap berjuang sesuai keyakinannya, termasuk aktif memberikan advokasi dalam kasus Tanjung Priok.

AM Fatwa juga mendorong tokoh reformasi yang juga ketua PP Muhammadiyah saat itu, Amien Rais, untuk mendirikan partai yang bersifat terbuka, inklusif, dan bervisi kebangsaan. Dalam sidang Tanwir Muhammadiyah pada Juli 1998, AM Fatwa pun mengungkapkan gagasan itu.

"Saya melihat, baju Muhammadiyah yang dipakai Pak Amien sekarang sudah sesak. Ia perlu baju baru yang lebih besar, lebih pas. Baju baru itu adalah partai politik yang bervisi kebangsaan, terbuka, pluralistis. Pluralisme itu sunatullah," kata Fatwa, dikutip dari Harian Kompas.

Karena itulah AM Fatwa ikut mendeklarasikan terbentuknya Partai Amanat Nasional pada 23 Agustus 1998. Dia pun dipercaya sebagai salah satu Ketua DPP PAN kala itu.

Karier politiknya pun terus berkembang. Berbagai jabatan kenegaraan telah diembannya, mulai dari Wakil Ketua DPR periode 1999-2004, Wakil Ketua MPR periode 2004-2009, hingga terpilih menjadi anggota DPD RI dari DKI Jakarta selama dua periode 2009-2014 dan 2014-2019.

Mantan Ketua Badan Kehormatan DPD RI itu masih menjabat sebagai Senator asal DKI Jakarta saat tutup usia pada Kamis (14/12/2017) pagi.

Sebuah upacara penghormatan pun digelar di DPD RI, sebelum AM Fatwa dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan pada Kamis sore.

Selamat jalan, AM Fatwa.

Kompas TV Indonesia kembali kehilangan salah satu putra terbaiknnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.



Rekomendasi untuk anda

Terkini Lainnya

Pimpinan Yakin Ada Oknum yang Main Perkara di KPK

Pimpinan Yakin Ada Oknum yang Main Perkara di KPK

Nasional
Sejarah Hari Armada RI dan Terbentuknya Koarmada

Sejarah Hari Armada RI dan Terbentuknya Koarmada

Nasional
Sidang Praperadilan, Pihak Panji Gumilang Sebut Tak Ada Saksi atau Ahli Meringankan yang Diperiksa Polisi

Sidang Praperadilan, Pihak Panji Gumilang Sebut Tak Ada Saksi atau Ahli Meringankan yang Diperiksa Polisi

Nasional
Soal Rencana Pengalihan Anggaran Bansos, TKN Prabowo-Gibran: Itu Tidak Benar

Soal Rencana Pengalihan Anggaran Bansos, TKN Prabowo-Gibran: Itu Tidak Benar

Nasional
Langkah Nawawi Gantikan Firli Pimpin KPK Diprediksi Cukup Berat

Langkah Nawawi Gantikan Firli Pimpin KPK Diprediksi Cukup Berat

Nasional
Soal Perubahan Format Debat, TKN Sebut Siap Debat dengan Format Apapun

Soal Perubahan Format Debat, TKN Sebut Siap Debat dengan Format Apapun

Nasional
Usai Main Sepak Bola, Jokowi Ikut Menari Ja’i Bareng Masyarakat NTT

Usai Main Sepak Bola, Jokowi Ikut Menari Ja’i Bareng Masyarakat NTT

Nasional
Busyro Dorong UU Lama Diberlakukan Jika Ingin KPK Ditakuti Koruptor

Busyro Dorong UU Lama Diberlakukan Jika Ingin KPK Ditakuti Koruptor

Nasional
Kembali Singgung IKN, Anies: Anggaran Besar Digunakan untuk Kebutuhan Tak Urgen

Kembali Singgung IKN, Anies: Anggaran Besar Digunakan untuk Kebutuhan Tak Urgen

Nasional
Busyro Muqoddas Duga Pengusaha Hitam Ikut Andil dalam Pelemahan KPK

Busyro Muqoddas Duga Pengusaha Hitam Ikut Andil dalam Pelemahan KPK

Nasional
Pemberantasan Korupsi Melemah, Busyro Muqoddas: Sekarang KPK Sudah 'KW'

Pemberantasan Korupsi Melemah, Busyro Muqoddas: Sekarang KPK Sudah "KW"

Nasional
Busyro Muqoddas: KPK Sudah Dilumpuhkan di Era Presiden Jokowi

Busyro Muqoddas: KPK Sudah Dilumpuhkan di Era Presiden Jokowi

Nasional
Cak Imin: Pak Jokowi Judulnya Benar soal Distribusi Lahan, tetapi Praktiknya Salah

Cak Imin: Pak Jokowi Judulnya Benar soal Distribusi Lahan, tetapi Praktiknya Salah

Nasional
Ditanya Bagaimana jika Dikritik, Ganjar: Jangan Baperan

Ditanya Bagaimana jika Dikritik, Ganjar: Jangan Baperan

Nasional
Gibran Ngaku Sudah Bersiap untuk Debat Perdana, Akan Terima Masukan Masyarakat

Gibran Ngaku Sudah Bersiap untuk Debat Perdana, Akan Terima Masukan Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com