Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Algooth Putranto

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI).

Misi Menlu Retno, Upaya Jokowi Meneruskan Tradisi Indonesia

Kompas.com - 05/09/2017, 17:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

KEBERANGKATAN Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, ke Myanmar pekan ini atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk meminta agar aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di wilayah Rakhine dihentikan seperti memberi pelumas bagi mesin politik regional Asia Tenggara.

Bagi yang kurang memahami pola hubungan negara-negara Asia Tenggara yang bernaung dalam ASEAN, tentu akan geregetan melihat lambannya ASEAN merespons persoalan yang melibatkan sesama negara ASEAN.

Akan selalu muncul tanya, mengapa negara-negara ASEAN tidak bisa agresif? Lihat saja bagaimana entengnya sejumlah negara aliansi Arab Saudi memblokade Qatar. Atau bagaimana Eropa melakukan intervensi atas Bosnia-Herzegovina pada era 1990-an, atau Australia terhadap Indonesia dalam konflik Timor Timur.

Tak hanya orang umum yang kerap bertanya hal tersebut. Tak sedikit jurnalis yang meliput ajang perhelatan ASEAN pun mengutarakan hal serupa.

Baca juga: Indonesia Akan Bawa Krisis Rohingya ke Forum Internasional

Jawaban para diplomat yang kami cecar pertanyaan tersebut pun konsisten: “Sejarah ASEAN berbeda dengan organisasi regional lain!”

Seorang diplomat yang kenyang asam garam ASEAN, kemudian bertugas di pos Rusia dan kini menunggu penugasan baru, mengibaratkan ASEAN sebagai hubungan kakak-adik yang kerap berselisih namun berdamai di meja makan. Kebetulan, Indonesia selalu ada pada posisi sebagai Kakak Tertua yang menjadi sandaran adik-adiknya yang bertikai.

Selain itu, patut disadari sejak awal pembentukannya, ASEAN didirikan dengan prinsip non-intervensi. Prinsip yang secara jelas mengatur negara anggota untuk tidak ikut campur dalam kondisi domestik negara lainnya. Prinsip yang telah menunjukkan keberhasilannya dalam menciptakan kestabilan kawasan.

Turunan dari prinsip tersebut adalah Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) yang diteken di Kuala Lumpur 27 November 1971 dan traktat damai antar negara (TAC/Treaty of Amity and Cooperation) yang dirumuskan di Bali 24 Februari 1976.

Meski demikin, apakah intervensi terhadap sesama anggota ASEAN pernah terjadi? Kebetulan, ya! Dan itu dilakukan oleh Presiden Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Intervensi dengan metoda serupa yang kini tengah dijalankan Presiden Jokowi terhadap Myanmar.

Sejarah ASEAN akan selalu mencatat berkat prinsip non-intervensi tersebut sejumlah api di wilayah Asia Tenggara relatif mudah diredakan, mungkin dalam tataran kritis: didiamkan. Sebut saja bagaimana senyapnya perhatian saat Malaysia-Indonesia membersihkan gerakan komunis di Kalimantan.

Begitu juga diamnya ASEAN pada upaya aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur maupun pemberantasan gerakan separatis dalam negeri hingga campur tangan diam-diam Thailand dalam konflik yang terjadi pada masa perang sipil Burma. Para tetangga di Asia Tenggara memilih diam.

Namun prinsip diam-diam dan tahu sama tahu ini sedikit berubah pasca pendudukan Vietnam terhadap Kamboja di bawah Pol Pot pada Desember 1978 lalu, mendirikan negara boneka Republik Rakyat Kamboja (PRK) setahun kemudian di atas puing Khmer Merah yang menyingkir ke perbatasan Thailand.

Demi meredakan krisis Kamboja, Presiden Soeharto tidak hanya menugaskan Menlu Ali Alatas mengundang secara faksi-faksi bertikai di Kamboja ke Jakarta. Soeharto bahkan terbang langsung ke Hanoi menemui Kepala Negara Vietnam, Vo Chi Cong dan Perdana Menteri Do Muoi pada 20 November 1990.

Kunjungan yang amat bersejarah, karena sama artinya mengesampingkan larangan prinsip komunikasi kenegaraan dengan negara komunis yang telah ditetapkan sejak tahun 1975. Perjuangan panjang tersebut berujung manis dalam Paris Peace Agreement pada akhir Oktober 1991.

Kiprah Indonesia berikutnya dilakukan pada penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina dan gerilyawan Moro (MNLF) pasca kegagalan Perjanjian Tripoli. Indonesia mendorong digelarnya Pertemuan Cipanas pada 1993.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com