Butuh waktu tiga tahun untuk mendorong kedua pihak mengubur kapak perang dan mengisap pipa perdamaian di Manila pada September 1996.
Persoalan etnis
Lalu bagaimana dengan kiprah Presiden Yudhoyono? Mungkin sudah banyak yang melupakan kiprah aktif mendorong perdamaian di Thailand Selatan pada 2008. Sayang niat mulia Indonesia ditolak pemerintah Thailand.
Baca juga: Redam Krisis Rohingya, Pemerintah Indonesia Jadi Sorotan Internasional
Sekali lagi, meski telah banyak jatuh korban dalan konflik Thailand Selatan, tanpa persetujuan pihak negara yang bertikai untuk bersedia menerima bantuan maka niat baik akan dinilai sebagai intervensi. Dan untuk itu Indonesia, sadar untuk tidak melibatkan diri.
Kiprah berikut terjadi saat Indonesia melibatkan diri dalam implementasi perjanjian damai antara Pemerintah Filipina dan kelompok Moro (MILF) pada Juli 2012 dan terwujud dalam kesepakatan mengakhiri konflik pada Maret 2014.
Bersamaan dengan keterlibatan Indonesia di Filipina, Menlu Marty Natalegawa juga disibukkan dengan misi mendamaikan Thailand dan Kamboja dalam krisis Preah Vihear yang sudah terjadi sejak 2008. Bangkok dan Phnom Phen saling mengirim bom, berebut situs Hindu di perbatasan kedua negara.
Sengketa yang pada akhirnya diselesaikan di pengadilan internasional pada November 2013 tersebut itu pun berakhir memuaskan kedua belah pihak berkat peran Indonesia. Sekali lagi prinsipnya adalah win-win solution.
Bagaimana dalam krisis Myanmar? Tentu tak mendadak Menlu Retno atas perintah Presiden Jokowi lantas terbang ke Yangon untuk kemudian ke Naypyidaw untuk menyelesaikan masalah di Rakhine, sudah pasti telah ada komunikasi intensif dan penerimaan pemerintah Myanmar terhadap misi Indonesia.
Terbukanya Myanmar terhadap Indonesia sesuatu yang masuk akal mengingat sejumlah investasi dan perjanjian bisnis antara kedua negara sejak 2015. Mulai investasi rumah sakit (Lippo Group), pertambangan (Timah dan Aneka Tambang), perbankan (BNI), hingga konstruksi (Wijaya Karya).
Pada sisi lain, keputusan Presiden Jokowi untuk masuk ke Myanmar secara politik akan sangat menarik, mengingat sejauh ini hanya China yang telah agresif menanamkan banyak investasi, termasuk pembangunan dam raksasa di wilayah etnis Kachin.
Menarik pula melihat bagaimana Presiden Jokowi dapat mengulang keberhasilan Presiden Soeharto mendamaikan banyak faksi di Kamboja. Namun yang berbeda, sejarah Myanmar adalah tak hanya semata konflik politik, banyak pula persoalan etnis.
Hingga saat ini tuntutan wilayah merdeka dari etnis minoritas seperti Karen, Mon, Kachin, Shan, Pa-O, Karenni, Kayan, Wa, Lahu, dan Rohingya masih berlangsung.
Bahkan demi menjaga perjanjian damai yang telah diteken, pemerintah Yangon membatalkan bendungan raksasa Myitsone senilai 3,6 miliar dollar AS dari China karena berdampak pada sejumlah etnis yang selama ini menuntut merdeka.
Boleh dibilang, misi Presiden Jokowi terhadap perdamaian Myanmar yang dibebankan pada Menteri Retno kali ini sangat berat dan bisa jadi butuh waktu cukup panjang. Karena sejarah perlawanan bersenjata di Rakhine pun rumit sejak perang sipil Burma. Namun tidak ada yang tidak mungkin demi tujuan damai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.