Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Yusman, Mantan Terpidana Mati di Bawah Umur yang Mengaku Kena Rekayasa

Kompas.com - 23/08/2017, 12:06 WIB
Robertus Belarminus

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Yusman Telaumbanua, pemuda asal Nias, Sumatera Utara, merupakan mantan terpidana mati kasus pembunuhan. Ia kini dapat menghirup udara segar di luar penjara setelah bebas pada peringatan hari kemerdekaan pada 17 Agustus kemarin.

Ia hanya menjalani pidana penjara selama lima tahun, setelah Mahkamah Agung membatalkan vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang menjadi pengacara Yusman menyatakan, ada rekayasa atau peradilan yang tidak adil di kasus yang dituduhkan kepada pemuda tersebut.

Di kantor Kontras, Yusman menceritakan pengalamannya diperlakukan tidak adil ketika penyidikan dilakukan oleh polisi. Dengan terbata-bata karena tak begitu lancar berbahasa Indonesia, dia bercerita soal tindak kekerasan saat diperiksa petugas.

"Waktu ditangkap itu aku di Riau, sampai di Nias, mendapat siksa dari polisi," kata Yusman, di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).

Misalnya, dia pernah dipukul petugas ketika proses interogasi. Setiap satu pertanyaan akan mendapat satu kali pukulan.

Ketika dibawa ke lokasi kejadian untuk olah tempat kejadian perkara, Yusman juga dipukul. Bagian dadanya pernah membiru akibat pukulan dengan kayu dari petugas.

Ketika di penjara, ia juga mengaku kadang tidak dikasih makan.

Rekayasa umur

Pada saat proses pemeriksaan, Yusman yang saat itu diperkirakan berusia 15-16 tahun atau di bawah umur, dipaksa untuk mengakui kalau usianya telah 19 tahun.

Polisi tidak percaya pengakuan Yusman karena saat itu dia tidak punya dokumen identitas untuk membuktikannya.

"Dibilang, 'Kamu tahu dari mana'. Aku bilangin, kalau enggak mau dengar aku, ke kampung aku aja. Masih ada di lurah, di keluargaku, masih ada, tapi mereka tidak mau dengar, dikasih di berkas 19 tahun yaitu (kelahiran) tahun 93 (1993)," ujar Yusman.

Ia juga menyatakan, ada polisi yang memintanya untuk mengaku di hadapan jaksa bahwa usianya sudah 19 tahun. Yusman dijanjikan jika mengaku seperti itu akan membantunya di pengadilan.

Akan tetapi, di hadapan jaksa Yusman tetap mengaku bahwa usianya 16 tahun.

"Terus jaksa itu dia keluar, panggil polisi itu. Polisi itu datang, dibilangin (jaksa), 'Ini si Usman katanya 16 tahun. Tapi kenapa di berkasnya 19 (tahun)'," cerita Yusman.

Konferensi pers kasus Yusman Telaumbanua, di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di Senen, Jakarta Pusat. Selasa (22/8/2017)Kompas.com/Robertus Belarminus Konferensi pers kasus Yusman Telaumbanua, di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) di Senen, Jakarta Pusat. Selasa (22/8/2017)
Polisi itu, kata Yusman, bilang ia telah membuatnya malu. Ia lalu dibawa ke sebuah ruangan lalu dipukul. Sekitar satu minggu kemudian, berkas perkaranya lengkap.

Dalam kasus ini, dia ditangkap bersama kakak iparnya, Rasula Hia. Di persidangan, mereka didampingi seorang pengacara untuk melakukan pembelaan.

Akan tetapi, bukannya membantu, sang pengacara tersebut malah meminta mereka dihukum mati. Pada 2014, fakta mengenai kasus yang menimpa Yusman diketahui Kontras. Kontras kemudian menjadi kuasa hukum Yusman.

(Baca juga: Belajar dari Kasus Yusman, Pemerintah Diminta Evaluasi Penerapan Hukuman Mati)

Terbukti di bawah umur

Kontras mengajukan Peninjauan Kembali putusan mati Yusman ke Mahkamah Agung setelah memperoleh novum atau bukti baru terkait usia Yusman.

Berdasarkan hasil pemeriksaan tulang dan gigi oleh Tim Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung, membuktikan usia Yusman ketika dilakukan pemeriksaan forensik pada 2016 yakni 18-19 tahun.

"Sehingga jika ditarik garis mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada 2012, maka usia Yusman saat itu 15-16 tahun," kata Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras, Arif Nur Fikri.

Dalam PK, MA akhirnya membatalkan putusan mati untuk Yusman, menjadi vonis lima tahun penjara.

"Pembatalan vonis mati oleh MA menjadi vonis lima tahun terhadap Yusman menguatkan fakta bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal," ujar Arif.

Pada kasus pembunuhan yang menyeret Yusman, Kontras menyatakan justru yang bersangkutan merupakan saksi kunci. Namun, dalam proses penyidikan, kesaksian Yusman tidak dipercayai penyidik.

"Memang kesalahannya dia (Yusman), dia tidak melaporkan peristiwa pembunuhan itu," ujar Arif.

Namun, Yusman disebut punya alasan mengapa tidak melapor. Arif menyatakan hal tersebut karena Yusman diancam oleh empat pelaku pembunuhan yang sebenarnya.

"Empat orang pelaku itu masih DPO sampai sekarang," ujar Arif.

Tak hanya melihat ketidakadilan dalam proses penyidikan, pihaknya juga melihat hakim tidak cerdas untuk menghadirkan saksi untuk membuktikan usia Yusman.

Seharusnya, pihak tetangga, keluarga, dan gereja yang membaptis Yusman bisa dipanggil untuk menjadi saksi soal usia Yusman.

"Tetapi hakim malah memanggil penyidik," ujar Arif.

Arif tidak masalah jika kemudian kasus ini diusut ulang, untuk mengetahui apa sebenarnya peran Yusman termasuk kakak iparnya. Asalkan, penegak hukum menangkap empat orang yang diduga pelaku sebenarnya terlebih dulu.

Ilustrasi.Shutterstock Ilustrasi.
"Kami enggak masalah ada proses penyidikan ulang. Untuk mengetahui peran Yusman dan Rasulah sebenarnya. Tapi empat DPO itu harus ditangkap dulu," ujar Arif.

"Ini bukan hanya keadilan buat Yusman, tapi bagaimana saat peristiwa itu terjadi. Karena kita tahu dengan bebasnya Yusman, pihak keluarga korban enggak dapat rasa keadilan," kata dia.

(Baca juga: Anak Bawah Umur di Nias Divonis Mati, "Fair Trial" Indonesia Dianggap Lemah)

Bantahan Jaksa Agung

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sebelumnya telah membantah tuduhan adanya rekayasa terhadap Yusman.

"Kan sudah ada pernyataan dari pengacaranya, dan bahwa proses penanganan hukumnya tidak ada rekayasa. Ya faktanya seperti itu," ujar Prasetyo di Istana Kepresidenan, Kamis (19/3/2015).

(Baca: Jaksa Agung: Tidak Ada Rekayasa dalam Vonis Mati Anak di Bawah Umur di Nias)

Dia menjelaskan bahwa apabila Yusman dianggap belum cukup umur, sudah ada persidangan yang dijalankan sesuai mekanismenya. Prasetyo pun kembali mengungkit pernyataan kuasa hukum Yusman yang justru meminta hukuman Yusman diperberat.

"Dari pengacaranya pun bahkan mendorong supaya (Yusman) divonis mati, mungkin melihat fakta perbuatannya," ucap Prasetyo.

(Baca: Ada Penasihat Hukum yang Minta Kliennya Dihukum Mati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Bareskrim Polri Yakin Penetapan Panji Gumilang sebagai Tersangka TPPU Sah Menurut Hukum

Nasional
Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Polisi Lengkapi Kekurangan Berkas Perkara TPPU Panji Gumilang

Nasional
Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Pengungsi Terdampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Bersama TNI AL, Polisi, dan Basarnas, Bea Cukai Bantu Evakuasi Korban Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Prabowo Ingin Berkumpul Rutin Bersama Para Mantan Presiden, Bahas Masalah Bangsa

Nasional
Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Hanura Sebut Suaranya di Manokwari Dipindah ke PSI, Berdampak ke Perolehan Kursi DPRD

Nasional
Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Gugat Hasil Pileg, Pengacara Gerindra Malah Keliru Minta MK Batalkan Permohonan

Nasional
Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Resmikan Warung NKRI Digital, BNPT Ingatkan Semua Pihak Ciptakan Kemandirian Mitra Deradikalisasi

Nasional
Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Klaim Ada Perpindahan Suara ke PKB, PKN, dan Garuda, PPP Minta PSU di Papua Pegunungan

Nasional
Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Berkaca Kasus Brigadir RAT, Kompolnas Minta Polri Evaluasi Penugasan Tak Sesuai Prosedur

Nasional
Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Hakim MK Singgung Timnas di Sidang Pileg: Kalau Semangat kayak Gini, Kita Enggak Kalah 2-1

Nasional
Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Caleg PDI-P Hadiri Sidang Sengketa Pileg secara Daring karena Bandara Sam Ratulangi Ditutup

Nasional
Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Ketum PGI: 17 Kali Jokowi ke Papua, tapi Hanya Bertemu Pihak Pro Jakarta

Nasional
Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Kasus Brigadir RAT, Beda Keterangan Keluarga dan Polisi, Atasan Harus Diperiksa

Nasional
KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

KPK Ancam Pidana Pihak yang Halangi Penyidikan Gus Muhdlor

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com