Ia hanya menjalani pidana penjara selama lima tahun, setelah Mahkamah Agung membatalkan vonis mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) yang menjadi pengacara Yusman menyatakan, ada rekayasa atau peradilan yang tidak adil di kasus yang dituduhkan kepada pemuda tersebut.
Di kantor Kontras, Yusman menceritakan pengalamannya diperlakukan tidak adil ketika penyidikan dilakukan oleh polisi. Dengan terbata-bata karena tak begitu lancar berbahasa Indonesia, dia bercerita soal tindak kekerasan saat diperiksa petugas.
"Waktu ditangkap itu aku di Riau, sampai di Nias, mendapat siksa dari polisi," kata Yusman, di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Selasa (22/8/2017).
Misalnya, dia pernah dipukul petugas ketika proses interogasi. Setiap satu pertanyaan akan mendapat satu kali pukulan.
Ketika dibawa ke lokasi kejadian untuk olah tempat kejadian perkara, Yusman juga dipukul. Bagian dadanya pernah membiru akibat pukulan dengan kayu dari petugas.
Ketika di penjara, ia juga mengaku kadang tidak dikasih makan.
Rekayasa umur
Pada saat proses pemeriksaan, Yusman yang saat itu diperkirakan berusia 15-16 tahun atau di bawah umur, dipaksa untuk mengakui kalau usianya telah 19 tahun.
Polisi tidak percaya pengakuan Yusman karena saat itu dia tidak punya dokumen identitas untuk membuktikannya.
"Dibilang, 'Kamu tahu dari mana'. Aku bilangin, kalau enggak mau dengar aku, ke kampung aku aja. Masih ada di lurah, di keluargaku, masih ada, tapi mereka tidak mau dengar, dikasih di berkas 19 tahun yaitu (kelahiran) tahun 93 (1993)," ujar Yusman.
Ia juga menyatakan, ada polisi yang memintanya untuk mengaku di hadapan jaksa bahwa usianya sudah 19 tahun. Yusman dijanjikan jika mengaku seperti itu akan membantunya di pengadilan.
Akan tetapi, di hadapan jaksa Yusman tetap mengaku bahwa usianya 16 tahun.
"Terus jaksa itu dia keluar, panggil polisi itu. Polisi itu datang, dibilangin (jaksa), 'Ini si Usman katanya 16 tahun. Tapi kenapa di berkasnya 19 (tahun)'," cerita Yusman.
Dalam kasus ini, dia ditangkap bersama kakak iparnya, Rasula Hia. Di persidangan, mereka didampingi seorang pengacara untuk melakukan pembelaan.
Akan tetapi, bukannya membantu, sang pengacara tersebut malah meminta mereka dihukum mati. Pada 2014, fakta mengenai kasus yang menimpa Yusman diketahui Kontras. Kontras kemudian menjadi kuasa hukum Yusman.
Terbukti di bawah umur
Kontras mengajukan Peninjauan Kembali putusan mati Yusman ke Mahkamah Agung setelah memperoleh novum atau bukti baru terkait usia Yusman.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tulang dan gigi oleh Tim Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran, Bandung, membuktikan usia Yusman ketika dilakukan pemeriksaan forensik pada 2016 yakni 18-19 tahun.
"Sehingga jika ditarik garis mundur pada peristiwa pidana yang disangkakan pada 2012, maka usia Yusman saat itu 15-16 tahun," kata Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras, Arif Nur Fikri.
Dalam PK, MA akhirnya membatalkan putusan mati untuk Yusman, menjadi vonis lima tahun penjara.
"Pembatalan vonis mati oleh MA menjadi vonis lima tahun terhadap Yusman menguatkan fakta bahwa sistem peradilan di Indonesia masih sangat rentan akan adanya kekeliruan atau kesalahan yang dapat berakibat fatal," ujar Arif.
Pada kasus pembunuhan yang menyeret Yusman, Kontras menyatakan justru yang bersangkutan merupakan saksi kunci. Namun, dalam proses penyidikan, kesaksian Yusman tidak dipercayai penyidik.
"Memang kesalahannya dia (Yusman), dia tidak melaporkan peristiwa pembunuhan itu," ujar Arif.
Namun, Yusman disebut punya alasan mengapa tidak melapor. Arif menyatakan hal tersebut karena Yusman diancam oleh empat pelaku pembunuhan yang sebenarnya.
"Empat orang pelaku itu masih DPO sampai sekarang," ujar Arif.
Tak hanya melihat ketidakadilan dalam proses penyidikan, pihaknya juga melihat hakim tidak cerdas untuk menghadirkan saksi untuk membuktikan usia Yusman.
Seharusnya, pihak tetangga, keluarga, dan gereja yang membaptis Yusman bisa dipanggil untuk menjadi saksi soal usia Yusman.
"Tetapi hakim malah memanggil penyidik," ujar Arif.
Arif tidak masalah jika kemudian kasus ini diusut ulang, untuk mengetahui apa sebenarnya peran Yusman termasuk kakak iparnya. Asalkan, penegak hukum menangkap empat orang yang diduga pelaku sebenarnya terlebih dulu.
"Ini bukan hanya keadilan buat Yusman, tapi bagaimana saat peristiwa itu terjadi. Karena kita tahu dengan bebasnya Yusman, pihak keluarga korban enggak dapat rasa keadilan," kata dia.
Bantahan Jaksa Agung
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo sebelumnya telah membantah tuduhan adanya rekayasa terhadap Yusman.
"Kan sudah ada pernyataan dari pengacaranya, dan bahwa proses penanganan hukumnya tidak ada rekayasa. Ya faktanya seperti itu," ujar Prasetyo di Istana Kepresidenan, Kamis (19/3/2015).
(Baca: Jaksa Agung: Tidak Ada Rekayasa dalam Vonis Mati Anak di Bawah Umur di Nias)
Dia menjelaskan bahwa apabila Yusman dianggap belum cukup umur, sudah ada persidangan yang dijalankan sesuai mekanismenya. Prasetyo pun kembali mengungkit pernyataan kuasa hukum Yusman yang justru meminta hukuman Yusman diperberat.
"Dari pengacaranya pun bahkan mendorong supaya (Yusman) divonis mati, mungkin melihat fakta perbuatannya," ucap Prasetyo.
(Baca: Ada Penasihat Hukum yang Minta Kliennya Dihukum Mati)
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/23/12060601/kisah-yusman-mantan-terpidana-mati-di-bawah-umur-yang-mengaku-kena-rekayasa