JAKARTA, KOMPAS.com - Hingga lebih dari 100 hari, kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, belum juga terungkap.
Ada yang mengusulkan agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Keputusan Presiden untuk membentuk tim gabungan pencari fakta atau tim independen.
Namun, ada juga yang berpandangan bahwa tim independen tersebut belum diperlukan.
Ada yang menganggap bahwa kasus yang tergolong perbuatan kriminal tersebut seharusnya mampu ditangani Polri tanpa melibatkan pihak mana pun.
Tim gabungan
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengakui, ada keraguan publik terhadap kinerja kepolisian dalam mengusut kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
(baca: Ini Sketsa Wajah dan Ciri Penyiram Air Keras ke Novel Baswedan)
Merespons keraguan itu, Polri menggandeng KPK untuk bersama-sama membentuk tim dalam mengusut kasus ini.
Hal itu dikatakan Tito seusai menghadap Presiden Joko Widodo untuk melaporkan perkembangan kasus Novel di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (31/7/2017).
Tito mengatakan, dengan adanya tim gabungan KPK-Polri, ia berpendapat bahwa belum diperlukan tim pencari fakta independen yang terdiri dari unsur masyarakat.
(baca: Novel Baswedan: Saya Bisa Sebut Polri Tidak Akan Berani Mengungkap)
Meski demikian, usulan Tito tersebut menimbulkan pertanyaan. Apalagi KPK dan Polri memiliki kewenangan berbeda yang telah diatur dalam undang-undang.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, tim gabungan yang dimaksud ternyata tidak serta merta melibatkan KPK dalam proses hukum yang ditangani Polri.
"Belum ada tim dalam artian tim yang bersama-sama melakukan investigasi, seperti yang disampaikan Kapolri," ujar Febri saat dikonfirmasi, Selasa (1/8/2017).
(baca: Novel Sebut Ada Kelompok Polri yang Melindungi dan yang Ingin Menyerangnya)
Menurut Febri, investigasi yang dilakukan dalam kasus Novel bersifat pro justitia dan berada di ranah pidana umum.
Dengan demikian, yang berwenang untuk melakukan proses hukum adalah penyelidik atau penyidik Polri.
Sedangkan, sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, dijelaskan bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK hanya khusus terkait tindak pidana korupsi.
Dengan kata lain, KPK tak berwenang menurut undang-undang untuk menangani kasus penyiraman air keras yang tergolong pidana umum.
Masih memungkinkan
Guru Besar Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, berpendapat lain. Ahli hukum pidana tersebut menilai bahwa tim gabungan KPK-Polri tetap dapat dibentuk.
(baca: Polri: Kami Ingin Kasus Novel Segera Terungkap, tetapi...)
Bahkan, kerja sama kedua lembaga dapat dilakukan hingga masuk ke dalam tataran pro justitia (proses hukum).
"Tim gabungan bisa saja dilakukan, tapi tetap berbasis saling kontribusi dan koordinasi pemecahan masalah. Bukan dalam konteks kewenangan penyidikan pidana umum yang jadi otoritas Polri," ujar Indriyanto kepada Kompas.com, Selasa.
Menurut Indriyanto, koordinasi di antara anggota tim gabungan bisa dilakukan dengan melakukan evaluasi dan pendalaman penyidikan.
Penanganan bersama, menurut Indriyanto, dalam arti membenahi hasil penyidikan yang dianggap belum maksimal dan optimal.
Dengan demikian, menurut dia, KPK dapat mengetahui proses dan metode penyidikan atas pemecahan perkara hukum. Khususnya, dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Bahkan, ketika naik ke tahapan gelar perkara dan penetapan tersangka, menurut Indriyanto, keputusan dapat diambil melalui kesepakatan bersama di antara tim gabungan.
Walau pun, secara formil penyidiknya adalah penyidik Polri .
"Hanya saja, konteks penyidikan tetap pada Polri," kata Indriyanto.