Padahal, persyaratan tersebut tak ada dalam ketentuan mendapatkan e-KTP. Berdasarkan surat edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 12 Mei 2016 disebutkan warga cukup membawa fotokopi Kartu Keluarga untuk merekam data e-KTP.
"Bupati Kuningan bilang isi persyaratan kalau ingin mendapatkan e-KTP. Ada empat persyaratan. Padahal persyaratan ini kan tidak ada," kata Nurhalim.
Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Suaedy, menilai masalah yang menimpa warga Desa Manislor merupakan bentuk diskriminasi terhadap penghayat agama dan kepercayaan minoritas, khususnya dalam pemberian pelayanan publik.
Menurut dia, setiap warga negara seharusnya berhak memperoleh pelayanan publik yang setara, termasuk dalam perekaman data e-KTP.
Akses terhadap pelayanan publik tak boleh diklasifikasikan berdasarkan agama, kepercayaan, maupun kelas sosial.
"Seharusnya pelayanan publik diselenggarakan secara baik dan berkeadilan untuk seluruh warga negara," ujar Suaedy.
Menurut Suaedy, diskriminasi dalam pelayanan publik seperti perekaman e-KTP dapat mengancam hak-hak dasar kelompok minoritas.
"Diskriminasi tersebut berdampak pada hilangnya hak-hak dasar mereka, seperti hak penghidupan, ekonomi, pendidikan, layanan kesehatan, dan hak politik pemerintahan," tutur Suaedy.
Untuk itu, Suaedy meminta pemerintah pusat memberikan sanksi tegas kepada pemerintah Kabupaten Kuningan. Dia berharap, sanksi tegas dari pemerintah dapat memberikan efek jera supaya diskriminasi terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak terulang.
"Pemerintah harus memberi sanksi," kata dia. (Baca: Ombudsman Minta Pemerintah Perhatikan Akses Pelayanan Publik bagi Kelompok Minoritas)
Selain itu, Suaedy juga meminta pemerintah membuat terobosan aturan guna memudahkan akses pelayanan publik penghayat agama dan kepercayaan minoritas di Indonesia.
Menurut dia, tak adanya aturan khusus membuat penghayat agama dan kepercayaan minoritas kesulitan mengakses pelayanan publik.
Untuk saat ini, kata Suaedy, aturan itu dapat berupa Instruksi Presiden (Inpres) maupun Keputusan Presiden (Keppres).
Ini dimaksudkan agar kekosongan regulasi yang mengatur mengenai pelayanan publik kepada penghayat agama dan kepercayaan minoritas bisa teratasi.
"Ini Presiden seharusnya yang mengeluarkan terobosan aturan. Karena beberapa kendala itu berupa UU. Tapi tidak ada alasan karena tidak ada UU jadi tidak dilayani. Hanya perlu terobosan saja. Perlu instruksi atau Keppres," ucap Suaedy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.