Dalam praktik pemerintahan Presiden Jokowi dewasa ini, karakter koalisi presidensial itu semakin terpotret tanpa oposisi yang jelas. Memang pada mulanya partai yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) aktif berperan sebagai oposisi. Dalam perkembangannya nyaris tak ada progresivitas fungsi oposisi lagi setelah konstelasi politik parlemen terbentuk. Secara jumlah, terutama psikologis, KMP berkuasa di parlemen, tetapi tak otomatis menutup sama sekali ruang dan peluang pemerintah bernegosiasi dan berkompromi.
Dalam berbagai aspek dinamika politik pemerintahan, KMP justru mendukung rencana pemerintah. Dalam kasus kehebohan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri dan dinamikanya, partai pendukung utama pemerintah (PDI-P) justru banyak menunjukkan sikap mirip oposisi. Kasus di mana partai propemerintah yang bersikap layaknya oposisi semacam ini juga pernah kita jumpai dalam pemerintahan sebelum Jokowi. Anomali politik semacam ini tentu tak akan terjadi dalam dinamika politik sistem parlementer.
Kaburnya oposisi politik formal dalam sistem pemerintahan presidensial memberi peluang sekaligus tantangan bagi presiden dalam mengelola pemerintahan. Yang mendasar, tentu terkait konsistensi, bahwa dengan tak adanya oposisi yang jelas, ancaman instabilitas politik bisa muncul dari mana-mana. Presiden pun bisa banyak memperoleh ancaman dari dalam koalisinya sendiri. Pola konflik dan konsensus bisa sangat pragmatis, yakni dengan ukuran proporsi wakil partai di kabinet. Perubahan konstelasi dan skala ancaman justru bisa membesar dari dalam manakala perombakan kabinet terjadi.
Di sisi lain, publik juga sering menyimpan pertanyaan, mengapa partai bahkan yang di luar koalisi pendukung pemerintah selalu terkesan bisa diikutkan dalam kabinet? Mengapa kabinet selalu jadi daya tarik bagi partai? Salah satu versi jawabannya adalah mengemukanya kepentingan partai memperkuat infrastruktur dan jaringan kepolitikannya. Bagaimanapun menteri partai berpeluang untuk tak saja melakukan aktivitas ulang alik pusat- daerah yang notabene selaras dengan konsolidasi. Secara sederhana itu bermakna investasi suara pada pemilu selanjutnya. Penjelasan lain terkait dengan konteks pengaruh. Partai yang punya menteri di kabinet berarti punya saluran pengaruh di pemerintahan. Implikasinya, partai punya peluang mendistribusikan kader di ranah kekuasaan.
Dilema presiden
Presiden akan selalu menghadapi dilema dalam menyeimbangkan dua kutub di atas. Satu sisi ia dihadapkan pada kuat lemahnya sumber daya manusia para menteri. Sisi lainnya, ia diharuskan mampu mengelola keseimbangan politik akibat begitu banyak partai. Ini dilema lazim dalam praktik kuasiparlementer atau semipresidensial. Dalam sistem demikian, presiden secara legal konstitusional sesungguhnya sangat kuat posisinya karena adanya ragam wewenang sekaligus ragam proteksi terhadap kekuasaannya. Karena sistem bersifat multipartai, presiden mudah jatuh pada sikap dan pilihan politik yang justru mencerminkan tidak percaya diri.
Akibatnya, presiden mudah jatuh ke dalam kompromi bagi-bagi kekuasaan dengan partai dan entitas pendukungnya secara kurang berkualitas. Partai tak selalu menyodorkan kadernya yang mumpuni kepada presiden dalam penyusunan atau perombakan kabinet dan pengisian jabatan strategis lainnya. Belajar dari pengalaman selama ini, partai sering menyodorkan kader yang bukan kelas wahid dalam kompetensi. Maka, wajar manakala kabinet tak meyakinkan performanya sebagai ideal zaken kabinet sejak awal.