DUA puluh tahun lalu, tepatnya 2 Juli 2004, Mochtar Lubis wafat. Pria kelahiran 7 Maret 1922 yang dikenal sebagai jurnalis dan sastrawan itu meninggalkan banyak karya dan pemikiran.
Satu di antaranya, yang kini berdengung kencang, adalah kritiknya yang sangat tajam terhadap mental-kultural manusia (bangsa) Indonesia.
Saya sebut “kini berdengung kencang” setelah memerhatikan fenomena akhir-akhir ini terkait tindakan sejumlah petinggi negeri ini.
Terbaru, pemecatan Hasyim Asy'ari dari jabatan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Hasyim Asy'ari dinilai melanggar etika terkait tindakan asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda.
Sebelumnya, sudah dua petinggi negeri ini diberhentikan lantaran pelanggaran etik. Dalam waktu hampir bersamaan menimpa Anwar Usman yang diberhentikan dari jabatan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Firli Bahuri yang diberhentikan dari jabatan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejumlah petinggi lain juga diberhentikan karena kasus korupsi. Banyak hal-hal aneh bin ajaib terungkap di persidangan kasus korupsi para petinggi negeri tersebut yang membuat kritik Mochtar Lubis itu kini berdengung kencang kembali.
Kekuasaan dimain-mainkan untuk kesenangan dan kemegahannya sendiri seolah-olah sah dan halal.
Pelanggaran etik Hasyim Asy'ari bukan yang pertama dilakukan sejak menjabat sebagai ketua KPU pada 2022. Sebelumnya, ia sudah beberapa kali dilaporkan, disidang dan dijatuhi sanksi oleh DKPP.
Baca juga: Hasyim Asyari Bersyukur Dipecat DKPP, Bebas dari Beban Berat Ketua KPU
Saya sungguh terpana, tak habis pikir. Bukan mengagumi keberanian DKPP akhirnya memecat Hasyim Asy'ari, melainkan merenungi sikap personal Hasyim Asy'ari, yang – menurut saya – terkesan “enggan bertanggung jawab atas perbuatannya”.
Ia justru bersyukur dipecat DKPP, karena terbebas dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU. Bukan menyesal dan meminta maaf, karena telah mengecewakan rakyat Indonesia pada umumnya dan membuat wajah Indonesia semakin bopeng.
Bukankah tugas-tugas berat KPU sudah diketahuinya sejak awal? Bukahkah ia juga sudah sering diberi sanksi etik oleh DKPP?
Mengapa menunggu dipecat, bukan memilih mengundurkan diri sejak awal ketika merasa tidak mampu menjalankan tugas-tugas yang disebut berat itu, sekaligus kewajiban etiknya?
“Dan saya ucapkan terima kasih kepada DKPP yang telah membebaskan saya dari tugas-tugas berat sebagai anggota KPU yang menyelenggarakan pemilu,” kata Hasyim (Kompas.com, 03/07/2024).
Sementara itu, menurut DKPP, tindakan asusila yang dilakukan Hasyim Asy'ari berkaitan dengan perubahan tata kerja KPU.