Perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi juga makin dipicu oleh langkah lembaga yudikatif lainnya, yakni Mahkamah Konstitusi, yang memutuskan perluasan obyek praperadilan.
Berdasarkan Pasal 77 Huruf a KUHAP, lembaga praperadilan hanya berwenang memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Namun, dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, MK memperluas kewenangan lembaga praperadilan untuk juga memutuskan sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
"Penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang," demikian kutipan putusan MK tersebut.
Vonis bebas
Tak hanya di lembaga praperadilan, upaya pemberantasan korupsi juga terhadang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kejaksaan Agung selaku penuntut umum mendapat pukulan dari kasus mantan Bupati Indramayu Irianto MS Syafiuddin yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Bandung pada 1 Juni 2015. Putusan majelis hakim yang dipimpin hakim Marudut Bakara tersebut dipertanyakan banyak pihak.
Putusan hakim yang membebaskan tersangka atau terdakwa kasus korupsi tentu akan membuat koruptor tak pernah jera merampas uang rakyat. Apalagi selama ini vonis terhadap koruptor juga tergolong ringan.
Berdasarkan pantauan terhadap perkara korupsi yang divonis Pengadilan Tipikor selama 2014, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, 79,78 persen putusan hakim tergolong rendah, yakni di bawah empat tahun penjara. Sebanyak 12,9 persen koruptor dihukum sedang (4-10 tahun penjara) dan hanya 1,08 persen koruptor dihukum berat, yakni di atas 10 tahun penjara. Jika dirata-rata, vonis koruptor selama tahun 2014 hanya 2 tahun 8 bulan penjara.
Di sisi lain, jumlah hakim yang melakukan perbuatan tercela cenderung meningkat. Berdasarkan Laporan Tahunan MA 2014, jumlah hakim yang mendapat hukuman disiplin selama 2014 mencapai 117 orang. Jumlah itu meningkat 15 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 102 hakim.
Terkait putusan yang membebaskan tersangka korupsi, komisioner Komisi Yudisial, Taufiqurahman Syahuri, mengatakan, pihaknya tidak dapat mempermasalahkan putusan hakim. Pihaknya hanya berwenang memeriksa apakah ada pelanggaran kode etik dalam pengambilan putusan tersebut, misalnya menerima suap atau mendapat pengaruh lain.