JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai hak angket yang digulirkan DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak tepat.
Hak angket terhadap KPK menunjukkan DPR tak punya prioritas kerja.
"Padahal, jika dilihat dari prioritas, ada hal yang lebih penting menyangkut masa depan ekonomi bangsa," ujar peneliti FITRA Apung Widadi, melalui keterangan tertulis yang diterima, Selasa (2/5/2017).
Misalnya, menurut Apung, saat ini KPK sedang menangani kasus korupsi ekonomi terbesar dalam sejarah, yaitu korupsi dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (SKL BLBI).
Dalam kasus tersebut, aktor utama dan obligor yang lebih besar belum ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Apung, dalam penanganan BLBI, DPR seharusnya membantu proses non litigasi, yaitu memanggil obligor yang belum melunasi utang BLBI.
(Baca: KPK Berharap 3 Fraksi di DPR Konsisten Tolak Hak Angket)
"Seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang mencapai Rp 33 triliun per 2017 ini," kata Apung.
Apung mengatakan, daripada menggulirkan hak angket terhadap KPK, DPR seharusnya membantu KPK mengungkap kasus SKL BLBI.
"Jadi DPR jelas tidak punya prioritas dalam pemberantasan korupsi. KPK yang tahun 2015 menyelamatkan Rp 294 triliun dan tahun 2016 Rp 497 miliar uang negara malah akan dilemahkan melalui hak angket," kata Apung.
Rapat paripurna DPR menyetujui usulan hak angket yang ditujukan kepada KPK.
Meski sejumlah fraksi menolak, namun rapat paripurna tetap menyetujui usulan hak angket yang ditandatangani 25 anggota dari delapan fraksi itu.
Permintaan anggota DPR dalam hak angket untuk meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam S Haryani, anggota DPR yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
(Baca: Kata Prabowo Soal Hak Angket KPK)
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontir dengan Miryam, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.
Menurut Novel, hal itu dikatakan Miryam saat menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.
Mengutip Miryam, Novel mengatakan politisi Hanura itu ditekan oleh sejumlah anggota DPR, yakni Aziz Syamsuddin, Desmond Junaidi Mahesa, Masinton Pasaribu, Sarifuddin Sudding, dan Bambang Soesatyo.
KPK memastikan bahwa rekaman dan BAP Miryam tidak akan dibuka selain di pengadilan. Menurut KPK, dibukanya alat bukti tersebut akan mengganggu proses hukum yang sedang ditangani.