Di banyak kasus, meruncingnya sikap intoleran antar umat beragama umumnya justru terjadi ketika larangan-larangan menjalankan ritual keagamaan dihadirkan, baik secara formal maupun informal.
Kelompok mayoritas akan mulai berpandangan bahwa mereka memiliki keabsahan untuk bersikap keras dan cenderung intoleran terhadap minoritas atas dasar larangan tersebut. Sebaliknya, kelompok minoritas akan cenderung bersikap resisten.
Namun, pertarungan politik identitas juga mencipta ilusi-ilusinya tersendiri. Manusia atau warga tiba-tiba dipaksa memilih ke dalam salah satu identitas tunggal yang mutlak berdasarkan aliran-aliran keagamaan atau pandangan tertentu.
Sen menyebut fenomena ini sebagai pendekatan soliteris terhadap identitas manusia. Pendekatan ini memandang manusia hanya sebagai bagian dari satu kelompok semata.
Padahal, secara alamian seseorang bisa menjadi kelompok apapun dan memiliki pandangan yang berbeda meski berada dalam satu kelompok tertentu. Sebagai contoh, saat ini ada kecenderungan di negeri ini pemilihan identitas berdasarkan kelompok toleran dan intoleran.
Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah diandaikan sebagai kelompok toleran, dan kelompok-kelompok salafi sebagai intoleran. Padahal, pada kenyataannya jauh lebih kompleks dan majemuk daripada pembagian yang semena-mena itu.
Tak semua kelompok salafi atau wahabi adalah intoleran, sebaiknya juga tak semua NU dan Muhammadiyah toleran.
Dalam perdebatan isu-isu aktual, misalnya tentang LGBT, seolah-olah dihadirkan kesan bahwa jika tak mendukung gerakan LGBT adalah intoleran, sebaliknya jika menerima adalah toleran.
Kenyataannya, ragam sikap atas LGBT jauh lebih majemuk dari dua pilihan identitas yang dipaksakan tersebut. Situasi ini membuat perdebatan menjadi brutal dan sulit ditemukan jalan untuk mempertemukan pandangan.
Kondisi makin sulit apabila ada provokasi-provokasi kedua belah pihak dalam bentuk hinaan-hinaan atau perendahan. Maraknya penggunaan media sosial mempercepat dan mudah menyulut antagonisme dua sisi itu makin mengristalkan kebencian.
Tak jarang, kelompok yang dipandang toleran pun melakukan provokasi ini, sehingga akhirnya sulit dipilah mana kelompok toleran dan mana yang intoleran.
Reduksionisme identitas ini dalam banyak kasus memicu konflik sektarian dan memicu intoleransi yang makin meluas.