Tentu kita masih ingat bagaimana oposisi biner semacam ini memaksa Rwanda harus mengalami tragedi berdarah antara dua suku terbesarnya, Hutu dan Tutsi.
Pun dengan kasus pembantaian tahun 1965, yang dipicu oleh politik pemecahan identitas tunggal antara yang dianggap komunis dan bukan komunis.
Selain itu, identitas yang dipaksakan ini juga menyulitkan tercapainya kerangka persaudaraan dalam peradaban yang terangkai dalam istilah berbeda-beda dalam keberagaman.
Nalar kemanusiaan dalam kondisi ini juga menjadi mati, karena pikiran dipaksa masuk dalam kotak yang sudah dibentuk oleh opini publik. Padahal, harmoni dalam ragam identitas hanya akan terbentuk apabila pemilahan tajam tak dilakukan.
Kita selalu dengan mudah menohok muka orang atau kelompok identitas lain sebagai biang kejahatan dan kezaliman, yang kemudian menularkan virus buruknya itu ke kita.
Namun kerap kita lupa, bahwa kebusukan itu telah mengendon lama dalam hati dan pikiran kita yang tidak pernah mau adil sedari awal.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mudah sekali melabeli orang atau kelompok lain sebagai ini itu, yang kerap kali bertendensi negatif.
Pelabelan yang belum tentu benar, dan dilakukan hanya karena orang itu berbeda dengan kita, baik agama, ras, suku, maupun pandangan politik.
Dalam Potrait of the Anti-Semite, filsuf asal Perancis, Jean Paul Sartre menggambarkan sikap labelisasi dan main tuduh yang akut itu dengan sebuah kalimat yang sangat masuk akal, "Yahudi adalah seseorang yang dipandang oleh orang lain sebagai Yahudi;...kaum anti-Semitlah yang membuat orang Yahudi."
Sartre hendak mengatakan, seringkali cap terhadap seseorang berdasarkan sikap yang sekadar anti, dengan kategorisasi yang tak selalu benar.
Situasi ini seringkali berbuntut dengan pelecehan, yang biasanya akan menyulut terjadinya tindak kekerasan terhadap orang yang diberi cap jelek.
Problem identitas tersebut sesungguhnya juga tak lepas dari fenomena fundamentalisme yang terkait dengan regangan proses globalisasi, yang disebut oleh Anthony Giddens telah memunculkan individualisme baru sehingga memicu hadirnya tradisi dan ritual.
Dari proses itu, maka tidak heran globalisasi memicu lahirnya identitas baru yang memroduksi aneka kemungkinan dan identifikasi posisi baru.
Dalam situasi tersebut, identitas, menurut Giddens dalam bukunya berjudul The Third Way: The Renewal of Social Democracy, menjadi lebih politis, beragam, menyatu, dan trans-historis.