Kapitalisme agama di ruang publik
Dalam satu dekade terakhir, ruang publik kita dikuasai oleh dua kekuatan fundamentalis utama, yaitu fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar. Kontestasi keduanya sangat mengemuka.
Walaupun keduanya bermain dalam tatanan simbolis yang berbeda, namun mereka mempunya sasaran yang sama yang hendak direbut, yaitu khalayak atau orang banyak.
Maka tidak heran, dalam beberapa waktu terakhir, ruang publik, terutama di dunia maya (media sosial), pertautan keduanya menjadi dominan.
Seiring dengan itu, ada kecenderungan menarik di Indonesia seiring berjalannya demokratisasi, yakni menguatnya islamisasi, sebuah kultur keislaman baru yang salah satunya ditandai dengan peningkatan kesadaran membawa simbol-simbol Islam dalam ranah publik, termasuk ke bidang-bidang yang sesungguhnya sekuler bahkan kapitalistik.
Sebuah kultur baru yang sangat tak terbayangkan sebelumnya, di mana syariat yang pada dasarnya puritan, bertemu dengan modernitas yang kapitalistik dan konsumtif.
Singkatnya, cara pandang keagamaannya puritan, namun mesra dengan produk-produk kapitalis. Merujuk kepada pandangan Asep Bayat, Ariel Heryanto, dalam bukunya berjudul Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, menyebut fenomena ini sebagai post-islamisme.
Di satu sisi, fenomena post-islamisme ini positif karena memberikan ruang bagi sikap kosmopolitan Islam terhadap modernitas.
Tetapi, hal tersebut pada kenyataannya tak serta merta menyingkarkan puritanisme dalam beragama. Mereka bisa saja menjadi moderat dalam bersyariat, namun puritan saat dihadapkan dengan perbedaan.
Tidak menolak formalisme agama, tapi tiba-tiba dapat menjadi nasionalis kaku saat berhadapan dengan isu-isu tertentu, misalnya dalam tarung wacana peristiwa seputar 1965.
Pada suatu waktu mereka bisa memuja Erdogan, tapi pada saat yang sama bisa terlihat khusyuk dengan UUD 1945 kala terpojok dengan isu-isu hak asasi manusia.
Pada suatu ketika mereka bisa memandang pancasila itu produk sekuler dan kafir, tapi saat lainnya bisa menjadi sangat pancasilais ketika bentrok dengan kelompok yang mereka pandang komunis.
Cara bersikap yang cenderung ambigu sekaligus tetap mewarisi puritanisme ini kerap membawa kelompok besar yang berada dalam gerbong kultur keislaman baru ini bersitegang dengan kultur keislaman yang lain, terutama islam liberal, islam kiri, serta juga dengan kelompok sekuler.
Selain itu, tren kultur keislaman baru yang meluas serta menjadi bagian budaya populer ini kemudian dalam praktiknya lebih banyak dimanfaatkan kekuatan kapitalis, baik lokal maupun internasional untuk mendapatkan khalayak Islam yang sangat besar itu sebagai pasar mereka.
Contohnya produk-produk kecantikan, busana muslim, dan segala pernak-pernik aksesoris keislaman, bisnis marketing berantai, hingga paket perjalanan umrah.
Pelaku-pelaku pasar kerap memanfaatkan pandangan tertentu dalam Islam untuk kepentingan pasar produk-produk mereka. Situasi ini rawan berbenturan dengan pandangan Islam lain, yang memang sangat beragam.
Salah satu contohnya adalah mengenai perselisihan tajam di ruang publik mengenai perlu tidaknya label halal untuk produk-produk busana muslim.