Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dicurigai Ada "Barter" RUU "Tax Amnesty" dengan Revisi UU KPK

Kompas.com - 17/02/2016, 17:29 WIB
Indra Akuntono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar menengarai ada kesepakatan terselubung antara pemerintah dan DPR di balik rencana dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Zainal, kesepakatan itu berkaitan dengan pembahasan RUU pengampunan pajak (tax amnesty) oleh DPR.

Zainal mengungkapkan, revisi UU KPK semula menjadi inisiatif pemerintah dan RUU Tax Amnesty menjadi inisiatif DPR.

Tapi saat ini kondisinya terbalik. RUU Tax Amnesty bahkan menjadi inisiatif dan prioritas pemerintah.

"Kecurigaan itu tinggi, demand bertemu, dan terjadilah percepatan pembahasan kedua undang-undang itu," kata Zainal, dalam sebuah diskusi di Utan Kayu, Jakarta, Rabu (17/2/2016).

Revisi UU tersebut diyakini akan melemahkan KPK. Indikasinya adalah empat poin yang akan menjadi pembahasan, yakni keberadaan dewan pengawas, diaturnya kewenangan menyadap, keberadaan penyidik independen, dan kewenangan menerbitkan SP3.

Menurut Zainal, poin-poin yang dimunculkan dalam revisi UU KPK adalah isu lama yang diangkat kembali.

Keberadaan dewan pengawas ia anggap akan menciptakan dualisme kepemimpinan, serta mengganggu independensi karena menentukan izin penyadapan.

Ia juga menyebut KPK tidak perlu diberi kewenangan menerbitkan SP3. Pasalnya, proses di KPK lebih ketat dibanding kejaksaan dan kepolisian dalam hal menetapkan tersangka.

Seseorang ditetapkan tersangka oleh KPK dengan bekal minimal ada dua alat bukti. Penyadapan yang dilakukan KPK juga harus seizin lima komisioner dan potensi pengungkapan kejahatannya besar.

Semua yang dibawa ke pengadilan tipikor selalu diputus bersalah. Jika memiliki kewenangan SP3, kata Zainal, KPK dapat menetapkan tersangka hanya dengan bukti permulaan.

Kewenangan ini diharapkan tidak dimiliki KPK karena rentan.

"Kita mau pakai sistem apa?" ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com