JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menilai jika masyarakat menginginkan kiprah lembaga antikorupsi itu kembali bertaji maka sebaiknya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memberlakukan undang-undang sebelum revisi.
Buysro menilai, saat ini KPK sudah dilumpuhkan oleh berbagai cara yang dilakukan pemerintah. Yakni seleksi calon komisioner yang tidak transparan, melakukan revisi undang-undang, mengubah status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, dan menggelar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) buat mendepak pegawai yang dianggap tidak "sejalan" dengan pemerintah.
"Kesimpulan akhirnya memang KPK yang sekarang ini perlu kembali lagi kepada undang-undang lama," kata Busyro melalui webinar dalam diskusi Senja Kala Penguatan KPK yang diselenggarakan Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Senin (4/12/2023).
Akan tetapi, Busyro pesimis hal itu terjadi dalam waktu dekat jika melihat sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya pemberantasan korupsi.
Baca juga: KPK Siap Hadapi Gugatan Praperadilan Wamenkumham
"Tapi masalahnya, pertanyaan besarnya, mengharapkan Presiden Jokowi sekarang ini merevisi Undang-Undang KPK? Mustahil 1000 persen," ujar Busyro.
"Karena sudah banyak orang tidak percaya. Saya termasuk orang yang tidak percaya dengan kepemimpinan Presiden Jokowi semata-mata berdasarkan prestasi Presiden Jokowi di bidang pemberantasan korupsi," sambung Busyro.
Busyro juga berharap presiden terpilih mendatang bisa membuat kebijakan arah pemberantasan korupsi labih baik.
Selain itu, Busyro mengajak akademisi dan mahasiswa menyuarakan aspirasi masyarakat terkait kekhawatiran akan pemberantasan korupsi yang semakin menurun.
Baca juga: KPK Bidik Wamenkumham dengan Pasal TPPU
"Oleh karena itu kita berharap kepada adik-adik BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) mahasiswa ini sudah saatnya bergerak seperti 1998. Saatnya BEM ketika pimpinan perguruan tinggi memilih jalan diam," ucap Busyro.
Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini KPK tengah menjadi sorotan karena Firli Bahuri yang sebelumnya menjabat sebagai ketua diberhentikan sementara karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Selain itu, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo pekan lalu juga membuat testimoni terkait proses penanganan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Baca juga: KPK dan Polri Teken Kerja Sama Koordinasi dan Supervisi
Agus dalam program Rosi di Kompas TV mengatakan, Presiden Jokowi sempat memanggilnya ke Istana Kepresidenan. Saat itu, kata Agus, Jokowi murka serta memintanya untuk menghentikan penyidikan terhadap Setya Novanto yang ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
Pada saat itu Setya Novanto merupakan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus politikus Partai Golkar yang merupakan partai koalisi pendukung pemerintah.
Akan tetapi, Agus saat itu mengatakan, KPK tidak bisa menghentikan penyidikan karena tidak mempunyai kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Agus mengatakan, setelah itu hubungan KPK dan Presiden Jokowi renggang. Dia menduga hal itu menjadi salah satu pemicu dilakukannya revisi UU KPK.
Baca juga: Bantah Intervensi KPK soal Kasus Setnov, Jokowi: Cek Pemberitaan November 2017
Meski begitu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno membantah pernah terjadi pertemuan antara Jokowi dan Agus membahas persoalan Novanto.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana juga membantah Presiden Jokowi melakukan intervensi dalam kasus Novanto. Sebab kasus Novanto tetap berjalan dan divonis 15 tahun penjara terkait kasus korupsi e-KTP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.