JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Mahkamah Agung (MA) agar segera menerbitkan putusan terkait gugatan atas aturan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, yang terdapat di dalam Peraturan KPU Nomor 10 dan 11 Tahun 2023.
"Sampai hari ini kami sebagai pemohon, ada ICW, Perludem, eks komisioner KPK Pak Abraham Samad dan Pak Saut Situmorang masih menanti bagaimana putusan Mahkamah Agung terkait dengan permohonan juducial review," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana, pada Selasa (12/9/2023).
Gugatan itu didaftarkan ke MA pada 12 Juni 2023 lalu. Mengacu pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, MA seharusnya memutus perkara itu tidak lebih dari 30 hari sejak permohonan diterima.
Baca juga: 52 Eks Terpidana Berlomba Jadi Caleg DPR Pemilu 2024, Terbanyak dari Golkar
"Oleh sebab itu, ini merupakan pelanggaran dan butuh perhatian khusus dari Ketua Mahkamah Agung untuk meminta agar Mahkamah Agung segera memutus dan membatalkan substansi yang memberikan karpet merah kepada mantan terpidana korupsi," jelas dia.
ICW sebelumnya menemukan ada sedikitnya 24 orang koruptor yang maju sebagai bakal caleg pada Pemilu 2024 di tingkat pusat maupun daerah.
Kurnia bersikeras bahwa di dalam 2 peraturan KPU di atas, lembaga penyelenggara pemilu itu telah salah menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat eks terpidana dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun guna mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Amar putusan MK yang dimaksud adalah Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023.
Baca juga: KPU dan Masyarakat Sipil Beda Tafsir Syarat Nyaleg Eks Terpidana, Celah bagi Koruptor?
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, eks terpidana yang diancam minimum 5 tahun penjara (selanjutnya disebut "eks terpidana") baru dapat mencalonkan diri sebagai caleg setelah menunggu masa jeda 5 tahun, terhitung sejak bebas murni.
Namun, dalam penerjemahan yang dilakukan KPU lewat 2 peraturan tadi, KPU memberi pengecualian bahwa masa jeda 5 tahun sejak bebas murni ini tak berlaku untuk eks terpidana yang juga divonis pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengeklaim bahwa ketentuan ini bersumber dari pertimbangan putusan MK yang sama, yang salah satunya dapat dibaca pada halaman 29 putusan MK nomor 87/PUU-XX/2022.
Baca juga: Ketua KPK: Eks Napi Koruptor yang Jadi Caleg Harus Beri Tahu Rakyat bahwa Pernah Dipenjara
Dalam pertimbangan itu, majelis hakim menilai, ketentuan eks terpidana dengan ancaman 5 tahun penjara maju caleg tanpa menunggu masa jeda 5 tahun bebas murni merupakan sesuatu yang inkonstitusional seandainya berlaku untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) "sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap".
Masalah semakin rumit karena ICW-Perludem memiliki tafsir berbeda atas putusan ini dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
ICW dan Perludem menilai, meski eks terpidana juga menjalani pidana pencabutan hak politik, berapa pun lamanya, mereka tetap harus menunggu masa jeda 5 tahun sebagaimana diputus MK lewat amarnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menegaskan bahwa perhitungan masa jeda 5 tahun itu dimulai sejak eks terpidana itu selesai menjalani pidana pencabutan hak politik.
Penafsiran yang berlainan antarpihak ini memang membingungkan. Untuk lebih mudahnya, ada baiknya menggunakan simulasi berdasarkan tafsir masing-masing pihak.