JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Buruh mengaku enggan dipaksa berkoalisi dengan partai politik pendukung UU Cipta Kerja (Ciptaker) pada Pilpres 2024 mendatang.
Atas alasan itu, partai besutan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal itu akan menggugat ketentuan ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Partai Buruh menegaskan, alasan dihidupkannya kembali partai ini adalah terbitnya UU Ciptaker. Said Iqbal termasuk pihak yang pernah menguji beleid bermasalah yang akhirnya dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada 2020 lalu itu.
Baca juga: Partai Buruh Uji Materi Presidential Threshold ke MK Pekan Depan, Jadi Gugatan Ke-31
"Jika ketentuan ini (ambang batas pencalonan presiden) terus ada dan menjadi ketentuan yang tidak dapat diubah, tentu Partai Buruh akan tersandera. Partai Buruh tidak dapat mengusung capres-cawapres yang independen dan menjadi tergabung dengan capres-cawapres (usungan partai politik) pendukung UU Cipta Kerja," ujar kuasa hukum Partai Buruh, Airlangga Julio, dalam jumpa pers, Jumat (14/7/2023).
"Intinya Partai Buruh tidak ingin untuk bergabung atau menjadi koalisi dengan parpol pendukung UU Ciptaker. Itu adalah sikap tegas dan konsistensi Partai Buruh yang selama ini terus dilakukan," jelasnya.
Kuasa hukum lainnya, Alghiffari Aqsa, menjelaskan bahwa dalam permohonan uji materi ke MK ini, terdapat dua orang eks kader Partai Buruh sebagai penggugat.
Baca juga: Partai Buruh Berencana Uji Formil UU Kesehatan ke MK
Keduanya mundur dari partai berkelir jingga itu karena isu Partai Buruh turut mendukung bakal calon presiden PDI-P, Ganjar Pranowo, sebagai RI 1 pada Pilpres 2024 mendatang karena tak bisa mengusung kandidatnya sendiri.
Padahal, PDI-P merupakan salah satu partai politik pendukung UU Ciptaker.
Kuasa hukum lainnya, Feri Amsari, menegaskan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden dibuat untuk menyandera partai-partai di luar parlemen, khususnya partai politik pendatang baru.
Sebab, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengatur bahwa calon presiden-wakil presiden diusung oleh partai politik sebelum pemilu digelar.
Bermodal pasal ini, Partai Buruh semestinya berhak mencalonkan jagoannya karena sudah ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2024 sebelum pencalonan presiden.
Baca juga: Tolak UU Kesehatan, Partai Buruh Siapkan Aksi Besar-besaran di DPR
Namun, lewat Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu), ketentuan itu dimodifikasi sehingga calon presiden-wakil presiden diusung oleh partai politik berdasarkan capaian di pemilu sebelumnya, yakni minimum 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional.
Ini membuat Partai Buruh, juga partai-partai politik pendatang baru dan partai-partai nonparlemen, harus bergabung dengan partai-partai politik penguasa Senayan untuk bisa mengusung calon presidennya.
"Konstruksi ini celaka bagi demokrasi. Kenapa? Ini tidak akan mengubah kepentingan parlemen yang ada saat ini, yang berkaitan dengan pemilu sebelumnya," ucap Feri.
"Partai yang berwenang mengajukan presiden hari ini akan berputar-putar menjadi partai yang juga akan berhak pada pemilu berikutnya mencalonkan calon presiden," lanjutnya.
Baca juga: Partai Buruh Serahkan Berkas Perbaikan 60 Bacaleg ke KPU, Ada yang Mundur karena Tuntutan Keluarga