JAKARTA, KOMPAS.com - Sedikitnya, enam mantan anak buah Ferdy Sambo ikut dijatuhi sanksi pidana karena terseret kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Memang, Sambo mengaku, anak buahnya tak tahu menahu soal upaya dirinya merintangi penyidikan. Namun, majelis hakim menilai, enam anggota kepolisian itu tetap bersalah karena terlibat upaya penghilangan barang bukti pembunuhan Yosua.
Petaka ini bermula dari skenario palsu Sambo soal kematian Brigadir J. Yosua tewas di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Juli 2022 sore.
Ia meregang nyawa setelah Sambo memerintahkan ajudannya, Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E, menembak Yosua. Setelahnya, Sambo ikut melepaskan tembakan hingga Yosua tewas.
Baca juga: Timeline Kasus Pembunuhan Brigadir J hingga Berujung Hukuman Mati untuk Ferdy Sambo
Namun, Sambo berupaya menutupi peristiwa itu dengan mengarang cerita soal pelecehan yang dilakukan Yosua terhadap istrinya, Putri Candrawathi, di rumah dinasnya.
Setelahnya, menurut cerita karangan Sambo, Yosua yang nyaris ketahuan oleh Richard Eliezer panik dan melepaskan peluru ke arah Bharada E.
Eliezer yang sedianya tengah mencari tahu ada kejadian apa, seketika membalas tembakan Yosua. Akhirnya, terjadi aksi saling tembak antara dua ajudan Sambo tersebut, berujung pada tewasnya Brigadir J.
Untuk menguatkan narasi tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E, Sambo sengaja menembakkan pistol ke dinding-dinding rumahnya usai penembakan Yosua.
Cerita palsu tersebut dikisahkan Sambo ke semua orang, termasuk para anak buahnya di kepolisian. Dengan jabatannya sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri saat itu, Sambo berupaya mengelabuhi bawahannya tak hanya dengan skenario buatan, tapi juga kemarahan dan air mata.
Baca juga: Setahun Kasus Ferdy Sambo: Saat Kebohongan Sang Jenderal Berujung Bui Belasan Orang
Tak lama setelah terjadi penembakan Brigadir J, Sambo memerintahkan bawahannya yang kala itu menjabat sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Propam Polri, Brigjen Hendra Kurniawan, untuk mengecek CCTV di sekitar tempat kejadian perkara (TKP).
Singkat cerita, Hendra meneruskan perintah Sambo ke bawahannya, Kombes Agus Nurpatria. Agus lantas meminta bantuan AKBP Ari Cahya Nugraha untuk menjalankan perintah Sambo.
Namun, karena Ari Cahya Nugraha berhalangan, dia memerintahkan bawahannya bernama AKP Irfan Widyanto untuk melaksanakan perintah. Oleh Agus, Irfan diperintahkan mengamankan dua CCTV di sekitar rumah dinas Sambo.
Arahan serupa juga sempat disampaikan oleh sekretaris pribadi (sespri) Sambo kala itu, Kompol Chuck Putranto ke Irfan.
Patuh pada perintah, Irfan mengganti tiga digital video recorder (DVR) CCTV di sekitar rumah dinas Ferdy Sambo. Sementara, tiga rekaman CCTV yang Irfan ambil dia serahkan ke Chuck yang lantas diletakkan di dalam mobil pribadi.
Tak lama, Chuck menyerahkan DVR CCTV yang dia simpan ke penyidik Polres Jakarta Selatan. Namun, sehari setelahnya, Sambo menanyakan keberadaan DVR itu.
Jenderal bintang dua Polri itu pun berang begitu mengetahui DVR CCTV diserahkan Chuck ke penyidik Polres Jakarta Selatan.
“CCTV di mana?” tanya Sambo ke Chuck kala itu.
“CCTV mana, Jenderal?” jawab Chuck.