"Polri berbekal niat baik untuk berubah dan saya memohon dengan segala kerendahan hati paling dalam kepada semua pihak untuk membantu mewujudkan keinginan kami bertransformasi".
PESAN Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo itu termuat dalam pengantar buku “Setapak Perubahan; Catatan Pencapaian Satu Tahun Polri yang Presisi”.
Ketika itu empat transformasi yang diusung dalam Polri Presisi seluruhnya sudah mencapai hasil maksimal dan akan terus ditingkatkan.
Transformasi organisasi saat itu telah mencapai 98,20 persen. Transformasi operasional sebesar 98,78 persen, berikutnya transformasi pelayanan publik 96,59 persen, dan transformasi pengawasan telah mencapai target 98,60 persen.
Dengan penuh optimistis, Kapolri berharap “Suatu ketika layanan publik oleh Polri akan semudah memesan pizza”, apalagi ketika itu program Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan) mencapai puncaknya selama setahun transformasi melalui 4 transformasi dengan 16 program prioritas, 51 kegiatan, 177 aksi, dan 8 komitmen.
Namun, tahun kedua gonjang-ganjing Polri dengan kasus Sambo yang paling menyita publik, disusul kasus Sabu Teddy Minahasa membuat kerja keras itu nyaris sia-sia.
Sebagai publik yang selama ini juga “bergantung” pada peran institusi Polri sebagai pengayom ketertiban dan keamanan, sempat kepikiran, apa kira-kira langkah kongkret yang bisa dilakukan Polri untuk membersihkan diri dari begitu banyak kasus yang seolah tak pernah usai mencoreng institusinya.
Apakah peringatan Hari Bhayangkara ke-77 (1 Juli 1946-1 Juli 2023), yang bertema “Polri Presisi untuk Negeri, Menuju Indonesia Maju” bisa menjadi momentum terbaik merefleksikan diri?
Berbenah menyempurnakan pelayanan dan pengabdian terbaik, melawan berbagai stigma buruk yang masih melekat dan mementahkan dedikasi, loyalitas yang telah susah payah dibangun melalui Polri Presisi yang menjadi jargon utama sejak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Stigma buruk tersebut harus menjadi refleksi yang utama, melakukan reformasi, internalisasi nilai-nilai Bhayangkara sebagai cermin pribadi setiap abdi negara di kepolisian.
Bicara tentang Polri dengan segala kiprahnya, kini menjadi tidak sederhana. Terutama sejak banyak kasus menggerogoti institusi Polri dan mengikis kepercayaan publik.
Setiap kali muncul kasus yang melibatkan institusi seperti menguatkan kembali ketidakpercayaan publik atas institusi penjaga keamanan dan ketertiban negara itu. Sehingga kerja-kerja membersihkan diri menjadi sangat rumit saat ini.
Setiap kali kasus muncul dan dibersihkan, maka kasus lain secara sporadis menyusul, mementahkan kembali usaha untuk mereformasi.
Apakah di dalam institusi Polri aturan-aturan Tribrata dan lainnya tidak memadai untuk mengerem kemunculan oknum Polri yang buruk? Ataukah karena sistem dalam pembentukan mental polisi yang “terlalu keras” menyebabkan para polisi kehilangan nuraninya secara perlahan?
Apakah perilaku buruk para oknum di dalam institusi Polri telah menjadi gunung es yang sulit untuk dihancurkan?