Salin Artikel

Refleksi Hari Bhayangkara Ke-77: Masihkah Ada Polisi Baik?

PESAN Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo itu termuat dalam pengantar buku “Setapak Perubahan; Catatan Pencapaian Satu Tahun Polri yang Presisi”.

Ketika itu empat transformasi yang diusung dalam Polri Presisi seluruhnya sudah mencapai hasil maksimal dan akan terus ditingkatkan.

Transformasi organisasi saat itu telah mencapai 98,20 persen. Transformasi operasional sebesar 98,78 persen, berikutnya transformasi pelayanan publik 96,59 persen, dan transformasi pengawasan telah mencapai target 98,60 persen.

Dengan penuh optimistis, Kapolri berharap “Suatu ketika layanan publik oleh Polri akan semudah memesan pizza”, apalagi ketika itu program Polri Presisi (Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan) mencapai puncaknya selama setahun transformasi melalui 4 transformasi dengan 16 program prioritas, 51 kegiatan, 177 aksi, dan 8 komitmen.

Namun, tahun kedua gonjang-ganjing Polri dengan kasus Sambo yang paling menyita publik, disusul kasus Sabu Teddy Minahasa membuat kerja keras itu nyaris sia-sia.

Sebagai publik yang selama ini juga “bergantung” pada peran institusi Polri sebagai pengayom ketertiban dan keamanan, sempat kepikiran, apa kira-kira langkah kongkret yang bisa dilakukan Polri untuk membersihkan diri dari begitu banyak kasus yang seolah tak pernah usai mencoreng institusinya.

Apakah peringatan Hari Bhayangkara ke-77 (1 Juli 1946-1 Juli 2023), yang bertema “Polri Presisi untuk Negeri, Menuju Indonesia Maju” bisa menjadi momentum terbaik merefleksikan diri?

Berbenah menyempurnakan pelayanan dan pengabdian terbaik, melawan berbagai stigma buruk yang masih melekat dan mementahkan dedikasi, loyalitas yang telah susah payah dibangun melalui Polri Presisi yang menjadi jargon utama sejak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Stigma buruk tersebut harus menjadi refleksi yang utama, melakukan reformasi, internalisasi nilai-nilai Bhayangkara sebagai cermin pribadi setiap abdi negara di kepolisian.

Bicara tentang Polri dengan segala kiprahnya, kini menjadi tidak sederhana. Terutama sejak banyak kasus menggerogoti institusi Polri dan mengikis kepercayaan publik.

Setiap kali muncul kasus yang melibatkan institusi seperti menguatkan kembali ketidakpercayaan publik atas institusi penjaga keamanan dan ketertiban negara itu. Sehingga kerja-kerja membersihkan diri menjadi sangat rumit saat ini.

Setiap kali kasus muncul dan dibersihkan, maka kasus lain secara sporadis menyusul, mementahkan kembali usaha untuk mereformasi.

Apakah di dalam institusi Polri aturan-aturan Tribrata dan lainnya tidak memadai untuk mengerem kemunculan oknum Polri yang buruk? Ataukah karena sistem dalam pembentukan mental polisi yang “terlalu keras” menyebabkan para polisi kehilangan nuraninya secara perlahan?

Apakah perilaku buruk para oknum di dalam institusi Polri telah menjadi gunung es yang sulit untuk dihancurkan?

Permukaan gunung es-seperti dalam teori ice berg, telah muncul kepermukaan sejak kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat oleh Ferdy Sambo, kasus narkoba Teddy Minahasa dan rentetan kejahatan lainnya selama kurun waktu belakangan ini.

Idealisme moralitas Polri

Sebenarnya dalam kerja-kerja melayani masyarakat sebagai abdi negara, Polri juga punya prinsip seimbang antara hukum dan moral. Tindakannya terukur, tidak sembarangan, bertanggung jawab sesuai hukum.

Intinya, bahkan untuk mencegah, menghambat, menghentikan tindak kejahatan yang mengancam keselamatan, atau membahayakan jiwa, bahkan kehormatan kesusilaan masyarakat yang dilindunginya, ia akan menerapkan nilai-nilai diskresi.

Ada wewenang, ketika polisi bertindak dan memutuskan, dalam situasi tertentu dengan pertimbangan yang tidak sepele dan tidak main-main. Di antara garis batas hukum dan moral. Jadi ini bukan perkara sederhana!

Tindakan itu untuk menghindari kekuatan berlebihan dan tidak bertanggung jawab. Menggunakan kekuatan juga memakai prinsip dasar.

Tindakannya harus sesuai legalitas, proporsionalitas, preventif, nesesitas, kewajiban umum, dan masuk akal, bukan sekadar “pamer kekuatan”.

Kongkretnya, ketika Polisi memakai prinsip nesesitas, harus melakukan “tindakan yang luar biasa”. Artinya, jika masih ada pilihan lain selain menangkap, menahan tersangka, maka wajib lakukan tindakan terbaik.

Seorang anggota Polri berkeyakinan, bertindak dengan kekuatan, bukan sekadar menjadi seorang “superhero”.

Ternyata menjadi polisi baik itu sulit, karena seorang polisi seperti berada di dua dunia berbeda. Dunia polisi yang bukan militer namun personifikasinya militer dan dunia sipil yang harus dipahami sebagai rakyat biasa.

Polisi memiliki ruang lingkup tugas dan fungsi untuk pihak eksternal, yakni masyarakat. Tugas menegakkan tata tertib dan mengawal tegaknya undang-undang.

Ada lima fungsi umum dalam kepolisian, yaitu Binamitra, Samapta, Lalu lintas, Intel, dan Reserse Kriminal. Yang termasuk dalam Polisi berseragam adalah fungsi Binmas, Samapta, dan Lalu lintas. Sedangkan Polisi yang tidak memakai seragam adalah fungsi Intel, dan Reskrim.

Ketika Polisi kehilangan Servant Leadership

Kapolri pernah berujar, jika ia berharap suatu ketika layanan Polri akan semakin mudah layaknya seseorang memesan pizza. Meskipun pizza bukan makanan asli Indonesia, dan ketika memesan pizza harus “membayar”.

Kita berprasangka baik saja, bahwa maksudnya adalah, ketika seseorang memesan, maka dengan cepat ia akan dilayani.

Ini yang disebut oleh Robert Greenleaf, sebagai konsep Servant Leadership. Ketika seorang yang menjadi pemimpin berusaha memosisikan diri sebagai pelayan lebih dahulu.

Dimulai dari perasaan alami bahwa seseorang yang ingin melayani, harus terlebih dulu melayani.

Kemudian pilihan secara sadar membawa seseorang untuk memimpin dengan cara menempatkan kebutuhan bawahan sebagai prioritas, mengenal kehormatan dan pentingnya nilai bagi setiap individu, dan membantu orang lain dalam mencapai suatu tujuan bersama.

Kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership), tidak hanya menggunakan otoritas (power) yang dimiliki, tetapi juga menggunakan pengaruh untuk menggerakkan orang lain.

Dalam menjalankan perannya, seorang pemimpin akan berhadapan dengan segala macam karakter, perilaku dan tingkat kematangan kepribadian bawahannya.

Servant leadership menjadi model kepemimpinan yang muncul untuk mengatasi krisis kepemimpinan sebagaimana yang terjadi dalam banyak kasus, ketika oknum polisi meminta “lebih dilayani” daripada memberi pelayanan kepada rakyat.

Para pemimpin-pelayan berkecenderungan lebih mengutamakan kebutuhan, kepentingan dan aspirasi orang-orang yang dipimpinnya di atas dirinya. Orientasinya adalah untuk melayani, cara pandangnya holistik dan beroperasi dengan standar moral spiritual.

Hal-hal yang telah lama terkikis dari institusi Polri meskipun dilengkapi dengan Tribrata dan Pancasila sebagai dasar sikap dan moral etisnya.

Menurut Spears, pemimpin yang mengutamakan pelayanan, dimulai dengan perasaan alami seseorang yang ingin melayani dan untuk mendahulukan pelayanan. Selanjutnya secara sadar, pilihan ini membawa aspirasi dan dorongan dalam memimpin orang lain.

Selain memengaruhi bagaimana perilaku bawahan, seorang pemimpin juga harus menguasai hal-hal seperti manajemen yang biasa dibutuhkan untuk mengatasi kerumitan dengan cara membuat tata tertib dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat, setelah itu memantau hasil yang sudah dilakukan dengan cara membandingkannya dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Bagi seorang servant leader yang memiliki keyakinan kuat untuk melayani dan memimpin, yang terpenting adalah mampu menggabungkan keduanya untuk saling memperkuat secara positif (Trompenaars dan Voerman).

Setidaknya akan ada sepuluh karakteristik servant leadership (Spears, 2002) yaitu; mendengarkan (listening) dan mengidentifikasi aspirasi orang lain, empati (empathy), penyembuhan (healing) karena hubungan adalah kekuatan untuk tranformasi dan integrasi, kesadaran (awareness), persuasi (persuasion), konseptualisasi (conceptualization) dengan berpikir visioner, kejelian (foresight) atas keputusan di masa nanti, keterbukaan (stewardship) untuk membangun kepercayaan dari orang lain; komitmen untuk pertumbuhan (commitment to the growth of people), dan membangun komunitas (building community).

Dengan demikian, karakteristik utama yang membedakan antara kepemimpinan pelayan dengan model kepemimpinan lainnya adalah keinginan untuk melayani hadir sebelum adanya keinginan untuk memimpin.

Prioritas kepemimpinan pelayan adalah bagaimana menghasilkan nilai tambah bagi bawahan dan implementasi ketika bekerja menjadi pelayan masyarakat.

Ini menjadi pekerjaan rumah atas perbaikan kerja dan kinerja institusi Polri pada ulang tahunnya yang ke-77, apalagi dengan tema besar,"Polri Presisi untuk Negeri, Menuju Indonesia Maju”.

Apakah hal itu masih mungkin diraih, dalam situasi dan kondisi ketika prestige institusi Polri begitu terpuruk saat ini?

https://nasional.kompas.com/read/2023/06/27/06300041/refleksi-hari-bhayangkara-ke-77-masihkah-ada-polisi-baik

Terkini Lainnya

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK

Nasional
Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Prabowo Disebut Punya Tim Khusus untuk Telusuri Rekam Jejak Calon Menteri

Nasional
Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Reformasi yang Semakin Setengah Hati

Nasional
Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat 'Geo Crybernetic'

Lemhannas Dorong Reaktualisasi Ketahanan Nasional Lewat "Geo Crybernetic"

Nasional
Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini

Nasional
Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Sukseskan WWF 2024, Pertamina Group Paparkan Aksi Dukung Keberlanjutan Air Bersih

Nasional
ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya sebagai Cagub DKI Jakarta

Nasional
PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

Nasional
SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

Nasional
Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Nasional
Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Nasional
Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Nasional
Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Nasional
Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke