JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengkritik penerapan sistem informasi milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak memberi akses leluasa untuk diawasi.
Sistem yang dimaksud adalah Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Daftar Pemilih (Sidalih), dan Sistem Informasi Pencalonan (Silon) KPU.
Padahal, berbagai tahapan krusial pemilihan umum (Pemilu) 2024 berlangsung menggunakan sistem informasi KPU.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menyayangkan hal tersebut.
Menurutnya, sistem informasi semestinya dapat menjadi instrumen transparansi untuk pelaksanaan tahapan pemilu yang akuntabel.
Baca juga: Bawaslu Tak Masalah Jokowi Cawe-cawe karena Belum Masa Kampanye
Bagja mengatakan, jika hal itu tak terwujud, maka penerapan sistem informasi ini justru kontraproduktif.
Ia lantas membandingkan dengan era konvensional, ketika Bawaslu justru lebih leluasa mengawasi tahapan pemilu menggunakan berkas fisik.
"Kalau (implementasi sistem informasi KPU) tidak mengikuti asas pemilu atau kemudian prinsip-prinsip transparansi, sama saja bohong. Mendingan berkas saja sekalian," kata Bagja kepada wartawan, Jumat (23/6/2023).
Sebagai catatan, sudah berulang kali Bawaslu menyampaikan kepada publik melalui media massa bahwa mereka menghadapi masalah dalam mengakses data yang dihimpun KPU.
Padahal, dalam Pemilu 2024, KPU menggencarkan penggunaan sistem informasi yang seharusnya bisa menjadi instrumen transparansi data.
Baca juga: Mahasiswa Mengadu ke Bawaslu soal Jokowi Akan Cawe-cawe dalam Pemilu 2024
Pada tahapan pendaftaran partai politik (parpol) calon peserta pemilu, Bawaslu mengaku tak bisa mengakses secara penuh Sipol KPU sehingga tak bisa leluasa mengawasi proses verifikasi.
Dalam proses pemutakhiran daftar pemilih, Bawaslu juga berulang kali protes karena mengaku tak mendapatkan data secara detail dari Sidalih ketika proses pencocokan dan penelitian (coklit).
Bagja mengatakan, pengawas hanya diberi data pemilih berbasis RT tanpa nama jalan.
Begitu pula saat ini, ketika KPU melangsungkan tahapan pendaftaran bakal calon anggota legislatif (bacaleg). KPU hanya memberi waktu 15 menit kepada Bawaslu untuk membaca Silon.
Baca juga: Bawaslu Ultimatum KPU, Bakal Adukan ke DKPP jika Tak Buka Akses Silon Pekan Depan
Selebihnya, jika ingin melihat dokumen pendaftaran bacaleg yang dianggap privat, seperti ijazah dan daftar riwayat hidup, pengawas pemilu harus mendatangi lokasi verifikasi KPU tetapi disebut tidak boleh mengambil gambar.
Bagja mengakui, pihaknya memang berwenang menjadikan tindakan KPU itu sebagai pelanggaran administrasi pemilu. Tetapi, ia menyebut, toleransi masih diberikan untuk menjaga kepercayaan publik dan terhadap penyelenggara pemilu.
Terkait Silon, Bawaslu sudah tiga kali bersurat ke KPU untuk minta dibukakan akses yang lebih luas.
Pekan ini, Bagja dkk mengirim surat terakhir sebagai ultimatum. Jika tak ada perubahan, Bawaslu siap menyatakan kasus ini sebagai pelanggaran administrasi atau mengadukan para komisioner KPU RI ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
"KPU kami harapkan sekarang lebih terbuka," ujar Bagja.
Baca juga: Pegawai Honorer Dihapus, Bawaslu Akan Kehilangan 7.000 Tenaga Pengawas Kampanye Pemilu 2024
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.