KANTOR Polsek Astana Anyar, Bandung, dikejutkan ledakan bom bunuh diri pada Rabu pagi, 7 Desember 2022.
Selain pelaku, seorang polisi bernama Aipda Sofyan juga ikut menjadi korban tewas dalam peristiwa tersebut.
Menurut Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, pelaku bernama Agus Sujatno alias Abu Muslim. Agus menggunakan motor berwarna biru dan memaksa masuk ke area Polsek saat sejumlah polisi sedang melakukan apel pagi.
Selain itu, Listyo juga mengatakan bahwa pelaku adalah seorang mantan narapidana terorisme. Ia pernah ditangkap dalam peristiwa bom panci yang terjadi di Cicendo, Bandung, pada 2017.
Saat kejadian sebelumnya di Cicendo itu pelaku menggunakan bom panci di Taman Pandawa, Cicendo, Kota Bandung. Namun, masih menurut Listyo, pelaku bom Polsek Astana Anyar itu kemudian dibebaskan pada September atau Oktober 2021.
Dan yang tidak kalah penting, Agus Sujatno alias Abu Muslim juga disebut terafiliasi dengan kelompok Jamaah Anshorut Daulah atau JAD Bandung dan JAD Jawa Barat.
Dengan profil demikian, sangat bisa dipahami mengapa kemudian pelaku memutuskan untuk melakukan bom bunuh diri. Latar belakangnya terbukti memang penuh dengan atribut terorisme.
Artinya, pelaku sejatinya adalah salah satu manusia Indonesia yang berpotensi menjadi pelaku bom (bunuh diri) setelah tidak lagi di penjara, terlepas apakah proses deradikalisasi berjalan dengan baik atau tidak selama ia berada di penjara.
Tapi lagi-lagi urusan aksi terorisme memang tak semudah itu. Deteksi aksi teroris memang tidak sekadar memonitor dan memantau rentetan catatan dan track record seseorang yang pernah tersangkut kasus terorisme, apalagi jika itu terkait bom bunuh diri.
"Even the Soviet Union, with its huge nuclear arsenal, was a threat that could be deterred by the prospect of retaliation. But suicide bombers cannot be deterred. They can only be annihilated, preemptively and unilaterally, if necessary", kata Thomas Sowell alumni Universitas Harvard yang juga penulis.
Dengan kata lain, bom bunuh diri memang sulit dicegah, sebagaimana dikatakan Sowell. Karena tak ada yang benar-benar mengetahui kapan seseorang berniat mengubah dirinya menjadi bom yang akan mengancam keselamatan orang banyak.
Semua proses transformasi tersebut berlangsung secara terselubung, jauh di luar radar publik dan radar otoritas.
Orang yang terlihat sangat "normal" sekalipun bahkan berpeluang menyimpan "imajinasi liar bom bunuh diri" di kepalanya, jika imajinasi tersebut ditempa dan dipupuk secara terus menerus, lalu ditoleransi oleh lingkungannya, tanpa intervensi "counter conviction" sebagai penetralisasinya.
"The suicide bomber's imagination leads him to believe in a brilliant act of heroism, when in fact he is simply blowing himself up pointlessly and taking other people's lives," tulis Salman Rushdie.
Jadi selama masih ada yang menyakini bahwa mengorbankan nyawa sendiri adalah sebuah aksi heroik untuk mengekspresikan perjuangan mereka, maka selama itu pula aksi bom bunuh diri akan tetap bersama kita.