JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai ketentuan hukuman mati bagi terpidana kasus korupsi tak efektif untuk menekan kasus korupsi.
Laode mengatakan, hukuman mati tidak menjamin sebuah negara akan bersih dari perilaku korupsi.
Hal ini disampaikan Laode berkaca dari angka indeks persepsi korupsi sejumlah negara.
"Negara mana yang masih ada pidana matinya untuk koruptor? Salah satunya Indonesia dan China, CPI China 40 kita 38, masih sangat korup. Jadi secara kalkulasi enggak ada hubungannya level of corruption dari suatu negara dengan hadirnya pidana mati," kata Laode di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (19/12/2019).
Indonesia sudah mengatur soal hukuman mati bagi terpidana korupsi Pasal 2 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: ICW: Tak Usah Bicara Hukuman Mati, Pidana Penjara bagi Koruptor Saja Tak Maksimal
Di sisi lain, kata Laode, negara-negara yang angka indeks persepsi korupsi-nya tinggi seperti Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia justru tidak menerapkan hukuman mati.
Laode melanjutkan, hukuman mati yang sudah diterapkan di Indonesia pun tidak efektif menekan jumlah pelanggar hukum.
"Pidana mati di Indonesia kita sudah tegakkan beberapa kali terhadap kasus-kasus narkoba, berkurang enggak narkoba. Jadi bila dibilang (hukuman mati) membuat deterent effect (efek jera) lebih banyak, itu dipertanyakan," ujar Laode.
Laode menambahkan, ia juga menolak hukuman mati karena hal itu akan menyulitkan proses penyidikan, terutama penyidikan yang membutuhkan kerja sama lintas negara.
Sebab, tidak sedikit negara yang menolak bekerja sama dengan negara yang menerapkan hukuman mati.
Menurut Laode, hal itu terjadi ketika KPK bekerja sama dengan Inggris dalam mengusut kasus korupsi di Garuda Indonesia.
"Di Inggris, pidana mati dihapus. Kalau dia lihat di Indonesia ada pidana mati, mereka enggak akan banyak bantuan," ujar Laode.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan jika memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.
Menurut Jokowi, penerapan hukuman mati dapat diatur sebagai salah satu sanksi pemidanaan dalam UU Tipikor melalui mekanisme revisi di DPR.
Baca juga: Tertangkap Bawa Sabu, 2 Warga Hong Kong Diancam Hukuman Mati di Bali
"Itu yang pertama kehendak masyarakat, kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU pidana tipikor, itu (bisa) dimasukkan," kata Jokowi usai menghadiri pentas drama 'Prestasi Tanpa Korupsi' di SMK 57, Jakarta, Senin (9/12/2019).
Jokowi meyakini, jika ada keinginan dan dorongan kuat dari masyarakat, maka DPR akan mendengar. Namun, ia menekankan, semuanya akan kembali pada komitmen sembilan fraksi di DPR.
"Sekali lagi juga termasuk yang ada di legislatif," kata dia.
Saat ditanya apakah pemerintah akan menginisiasi rancangan atau revisi UU yang memasukkan aturan soal hukuman mati bagi koruptor, Jokowi tak menjawab dengan tegas.
Menurut Jokowi, hal itu kembali berpulang pada kehendak masyarakat. "Ya bisa saja (pemerintah inisiasi) kalau jadi kehendak masyarakat," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.