Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

ICW Berharap Tuntutan Pencabutan Hak Politik dalam Kasus Korupsi Lebih Maksimal

Kompas.com - 28/04/2019, 16:29 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter berharap aparat penegak hukum bisa memaksimalkan tuntutan pencabutan hak politik terdakwa kasus korupsi dengan latar belakang politik.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi "Koruptor Belum Dihukum Maksimal", di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (28/4/2019) sore.

"Undang-Undang Tipikor itu memungkinkan karena ini juga berkaitan dengan KUHP yang memungkinkan aparat penegak hukum dan pengadilan kalau dikabulkan itu mencabut hak politik terdakwa terutama yang berkaitan dengan latar belakang politiknya," kata Lalola.

Merujuk pada data ICW tahun 2016-2018, Lalola mengatakan, tren pencabutan hak politik belum maksimal.

Baca juga: Sekjen Gerindra: Hak Politik Tak Dicabut, Eks Koruptor Boleh Jadi Caleg

Ia menyebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut sekitar 88 terdakwa dari dimensi politik.

Akan tetapi, KPK hanya menuntut pencabutan hak politik terhadap 42 terdakwa.

Sementara itu, ICW kesulitan mendapat gambaran bagaimana tuntutan pencabutan hak politik dilakukan oleh Kejaksaan.

"Kejaksaannya sendiri tidak punya informasi terkait perkara yang sudah diputus dari tuntutan yang mereka ajukan sehingga kami kesulitan mendapatkan akses penanganan perkara di kejaksaan sehingga tren ini kita ambil dari KPK saja," kata dia.

Hal yang sama diungkapkan peneliti ICW Kurnia Ramadhana. Ia sepakat tuntutan pencabutan hak politik aktor politik yang terjerat korupsi, belum maksimal.

Ia mencontohkan kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Klaten Sri Hartini.

Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik Gubernur Aceh Irwandi Yusuf

Berdasarkan catatan ICW, jaksa KPK beralasan tidak menuntut pencabutan hak politik, karena Sri sudah dituntut hukuman penjara yang tinggi, 12 tahun penjara.

"Ini kami anggap alasan aneh karena tidak ada kaitannya tuntutan pidana penjara tinggi dengan pencabutan hak politik, keduanya ini punya tujuan berbeda," papar Kurnia.

Pidana penjara ditujukan agar terdakwa bisa merasakan hukuman atas kejahatan korupsi yang dilakukan.

Sementara, pencabutan hak politik untuk mencegah yang bersangkutan menduduki jabatan setelah menjalani pidana penjaranya.

Sebab, ia sudah pernah mengkhianati kepercayaan masyarakat dan tanggung jawabnya sebagai pejabat publik.

Baca juga: Hakim Cabut Hak Politik 5 Anggota DPRD Sumut

Kurnia berharap KPK bisa semakin dominan dalam menuntut pencabutan hak politik.

Hal itu mengingat KPK juga berperan sebagai pemicu dan pemberdaya institusi yang sudah ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

"KPK harusnya bisa lebih dominan, angka 70, 80 persen itu harus dicapai KPK. Kalau begini, 88 (terdakwa) dari dimensi politik, cuma 42 (yang dituntut pencabutan hak politik) itu kan data yang tidak cukup menggambarkan trigger mechanism yang jelas untuk KPK sendiri," kata Kurnia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Nasional
Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Nasional
Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Nasional
Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Nasional
Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Menlu Retno Laporkan Hasil Kunjungan ke Vietnam ke Jokowi

Nasional
Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum 'Move On'

Gugatan di PTUN Jalan Terus, PDI-P Bantah Belum "Move On"

Nasional
Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Menlu Singapura Temui Jokowi, Bahas Kunjungan PM untuk Leader's Retreat

Nasional
Hasto Sebut Ganjar dan Mahfud Akan Dapat Tugas Baru dari Megawati

Hasto Sebut Ganjar dan Mahfud Akan Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Kejagung Sita 2 Ferrari dan 1 Mercedes-Benz dari Harvey Moies

Kejagung Sita 2 Ferrari dan 1 Mercedes-Benz dari Harvey Moies

Nasional
Gerindra Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju ke Pilkada Sulteng

Gerindra Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju ke Pilkada Sulteng

Nasional
Tepati Janji, Jokowi Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas Sulbar

Tepati Janji, Jokowi Kirim Mobil Listrik ke SMK 1 Rangas Sulbar

Nasional
Konsumsi Avtur Naik 10 Persen Selama Ramadhan dan Idul Fitri 2024

Konsumsi Avtur Naik 10 Persen Selama Ramadhan dan Idul Fitri 2024

Nasional
Kekuatan Koalisi Vs Oposisi jika PDI-P dan PKS Tak Merapat ke Prabowo-Gibran

Kekuatan Koalisi Vs Oposisi jika PDI-P dan PKS Tak Merapat ke Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com