JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai, sejak awal Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odong (OSO) memang tidak mau menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi.
Putusan MK mengatur larangan anggota DPD rangkap jabatan sebagai pengurus partai politik.
Bivitri membandingkan sikap OSO dengan bakal calon anggota DPD lain yang juga terdampak putusan MK.
Baca juga: Soal Kasus Oesman Sapta, KPU Bingung Harus Ikuti MK atau MA
Ia mengatakan, awalnya putusan MK memberikan kesempatan bagi pengurus partai yang telanjur ikut tahapan pemilu untuk mundur dari partai politik.
Dengan demikian, tidak ada hak politik yang dilanggar.
"Dan ini yang perlu diperhatikan. KPU kirim surat ke semua DCS dan menginformasikan, 'Ada putusan MK soal syarat baru nih menyuruh supaya kalian mundur dari kepengurusan parpol'" ujar Bivitri dalam sebuah diskusi di Jalan Wahid Hasyim, Minggu (18/11/2018).
Baca juga: Putusan PTUN soal Gugatan OSO Dinilai Munculkan Dualisme Hukum
Setelah mengirimkan surat tersebut, kata Bivitri, ada lebih dari 200 calon anggota DPD yang mematuhi putusan MK.
Ada yang mundur dari partainya dan meneruskan tahapan pemilu.
Ada pula yang akhirnya keluar dari tahapan pemilu dan memilih tetap di dalam partai.
"Dengan itu, maka di atas 200 orang bisa memenuhi (putusan MK) itu. Cuma Pak OSO yang enggak bisa," ujar Bivitri.
Baca juga: Soal Nasib OSO, KPU Masih Kumpulkan Saran Para Ahli Hukum
Bivitri berpendapat masyarakat harus membedakan antara "yang tidak bisa" dengan "yang tidak mau".
Menurut dia, OSO bukan tidak bisa mematuhi putusan MK, melainkan tidak mau. Hal itu dinilainya terlihat dari sejumlah pernyataan OSO.
Sebelumnya, MA mengabulkan gugatan uji materi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang larangan pengurus partai politik menjadi calon anggota DPD.
Permohonan uji materi itu diajukan OSO. Sementara itu, KPU telah mencoret OSO sebagai calon anggota DPD lantaran tidak menyerahkan surat pengunduran diri dari partai politik.