Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jimly: 20 Persen Ambang Batas Pencapresan Tidak Haram, tetapi...

Kompas.com - 12/07/2018, 13:06 WIB
Reza Jurnaliston,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashiddiqie menyatakan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) tidak bertentangan dengan hukum alias inkonstitusional.

Menurut dia, peraturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan hasil kesepakatan undang-undang semata.

“Selama ini, pada awal dulu-dulu jaman saya, ambang batas itu tidak melanggar konstitusi. Itu soal kesepakatan undang-undang, menyangkut pilihan kebijakan yang boleh saja tidak haram, 20 persen pun tidak haram, cuma makruh, artinya bukan inkonstitusional,” ujar Jimly saat diskusi di bilangan kampus Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (12/7/2018).

Baca juga: Pengamat Pesimistis soal Uji Materi Presidential Threshold di MK

Aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential treshold) tertera di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Pasal tersebut mengatur parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.

Akan tetapi, Jimly menuturkan, jika peraturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden mengalami dinamika maka hal itu perlu untuk dikaji kembali.

Baca juga: Pemohon Minta MK Putuskan Nasib Presidential Threshold Sebelum 4 Agustus

“Kita ini bangsa plural dan tak bisa mengarahkan cepat kepada dua koalisi, karena memang desain konstitusi kita itu dua ronde pemilihan presiden,” tutur Ketua Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) tersebut.

Menurut dia, idealnya konstestasi pilpres diikuti oleh beragam calon. Hal tersebut untuk meminimalisir potensi calon tunggal dan bagi majunya kehidupan demokrasi di Insonesia.

“Jadi kalo dalam prakteknya tidak bisa lebih dari dua paslon, berarti ada masalah,” kata dia Jimly.

Baca juga: Ramai-ramai Menolak Presidential Threshold...

Di sisi lain, Jimly berharap Mahkamah Konstitusi (MK) mempercepat proses sidang gugatan materi ketentuan ambang batas pencalonan terkait Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum tahapan pendaftaran capres dan cawapres yang akan dimulai pada 4 hingga 10 Agustus 2018 mendatang.

“MK lebih cepat memutus lebih baik sebelum tanggal 5, tetapi seandainya dia (MK) memilih sesudah tanggal 10 dampak efektifnya sudah seharusnya nanti 2024 bukan di 2019 karena pendaftaran sudah selesai,” ujar dia.

Baca juga: MK Didorong Putuskan Uji Materi Presidential Threshold Sebelum Pilpres

Dengan diputuskan sebelum pembukaan pendaftaran, maka diharapkan putusan yang diketok MK sudah bisa berlaku untuk Pilpres 2019.

“Kuncinya kalo memang mau dikabulkan harus sebelum 10 Agustus, idealnya sebelum 5 Agustus. Terserah kepada MK, itu jikalau mau di kabulkan,” kata dia.

Jimly menuturkan, ada opsi jika Mahkamah Konstitusi belum mengabulkan gugatan pemohon tersebut. Misalnya, mengubah ambang batas jangan 20 persen tetap 10 persen saja.

Baca juga: Presidential Threshold Kembali Digugat ke MK, Ini Argumentasinya

"Kalaupun MK menolak ataupun mengabulkan masih ada beberapa kemungkinan variasi, tapi selebihnya kita serahkan pada MK,” Jimly menambahkan.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com