Menurut dia, peraturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan hasil kesepakatan undang-undang semata.
“Selama ini, pada awal dulu-dulu jaman saya, ambang batas itu tidak melanggar konstitusi. Itu soal kesepakatan undang-undang, menyangkut pilihan kebijakan yang boleh saja tidak haram, 20 persen pun tidak haram, cuma makruh, artinya bukan inkonstitusional,” ujar Jimly saat diskusi di bilangan kampus Universitas Indonesia, Jakarta Pusat, Kamis (12/7/2018).
Aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential treshold) tertera di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal tersebut mengatur parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.
Akan tetapi, Jimly menuturkan, jika peraturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden mengalami dinamika maka hal itu perlu untuk dikaji kembali.
“Kita ini bangsa plural dan tak bisa mengarahkan cepat kepada dua koalisi, karena memang desain konstitusi kita itu dua ronde pemilihan presiden,” tutur Ketua Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) tersebut.
Menurut dia, idealnya konstestasi pilpres diikuti oleh beragam calon. Hal tersebut untuk meminimalisir potensi calon tunggal dan bagi majunya kehidupan demokrasi di Insonesia.
“Jadi kalo dalam prakteknya tidak bisa lebih dari dua paslon, berarti ada masalah,” kata dia Jimly.
Di sisi lain, Jimly berharap Mahkamah Konstitusi (MK) mempercepat proses sidang gugatan materi ketentuan ambang batas pencalonan terkait Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum tahapan pendaftaran capres dan cawapres yang akan dimulai pada 4 hingga 10 Agustus 2018 mendatang.
“MK lebih cepat memutus lebih baik sebelum tanggal 5, tetapi seandainya dia (MK) memilih sesudah tanggal 10 dampak efektifnya sudah seharusnya nanti 2024 bukan di 2019 karena pendaftaran sudah selesai,” ujar dia.
Dengan diputuskan sebelum pembukaan pendaftaran, maka diharapkan putusan yang diketok MK sudah bisa berlaku untuk Pilpres 2019.
“Kuncinya kalo memang mau dikabulkan harus sebelum 10 Agustus, idealnya sebelum 5 Agustus. Terserah kepada MK, itu jikalau mau di kabulkan,” kata dia.
Jimly menuturkan, ada opsi jika Mahkamah Konstitusi belum mengabulkan gugatan pemohon tersebut. Misalnya, mengubah ambang batas jangan 20 persen tetap 10 persen saja.
"Kalaupun MK menolak ataupun mengabulkan masih ada beberapa kemungkinan variasi, tapi selebihnya kita serahkan pada MK,” Jimly menambahkan.
Sementara, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini optimis uji materi ketentuan ambang batas pencalonan terkait Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Dikabulkan (gugatan uji materi) untuk mulai pemilu 2019, tidak ada penundaaan untuk pemilu 2024 untuk 0 persen itu permohonan kami,” tutur dia.
Diberitakan, sebanyak 12 orang mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Para pemohon berharap Hakim membatalkan syarat capres yakni 25 persen suara berdasarkan pemilihan legislatif Pemilu 2014.
Selain Titi, 11 pemohon lain, yakni Busyro Muqoddas, Chatib Basri, Faisal Basri, Danhil Anzhar Simanjuntak, Haedar Nafis Gumay , Hasan Yahya, Feri Amsari, Rocky Gerung, Angga Dwi Sasongko, Bambang Widjojanto dan Robertus Robet.
Pemohon atas nama Danhil Anzhar Simanjuntak dan Titi Anggraini mewakili lembaganya yakni selaku Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Muhammadiyah dan Direktur Perludem.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/12/13065181/jimly-20-persen-ambang-batas-pencapresan-tidak-haram-tetapi