JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar Simanjuntak menganggap, DPR terlihat ingin menunjukkan kekuasaan politiknya melalui pengajuan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Dahnil, jika proses pembentukan panitia khusus hak angket terjadi, maka DPR bisa dianggap sebagai lembaga yang diktator.
"Ini kan DPR mau menunjukkan kekuasaannya, seolah-olah menunjukkan adanya kediktatatoran parlemen. Ini yang berbahaya dan harus dihentikan," ujar Dahnil, saat ditemui di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (2/5/2017) malam.
Dahnil mengatakan, hak angket yang diajukan oleh DPR merupakan intervensi politik terhadap lembaga penegak hukum yang seharusnya tidak boleh dilakukan.
Aparat penegak hukum seperti KPK tidak boleh diintervensi oleh siapapun, termasuk presiden.
(Baca: 24.000 Netizen Teken Petisi Lawan Hak Angket KPK)
Dahnil menilai, DPR telah menyalahi aturan perundang-undangan jika meloloskan pembentukan pansus hak angket.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, hak angket hanya bisa dilakukan selama subyeknya terkait dengan kebijakan administratif.
"Hak angket bisa dilakukan selama itu terkait dengan kebijakan administratif, terkait dengan kebijakan KPK. Itu tidak ada masalah. Tapi kalau sudah masuk ke materi penyidikan itu menjadi masalah. Nanti semua akan melakukan intervensi kepada KPK," kata Dahnil.
Usulan hak angket bermula dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
(Baca: Penyidik Kasus E-KTP Sebut Miryam Mengaku Diancam Sejumlah Anggota DPR)
Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
Menanggapi hal itu, Komisi III pun mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam untuk membuktikan pernyataan tersebut benar disampaikan oleh yang bersangkutan.
Adapun Miryam kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.