JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai upaya pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui hak angket oleh DPR bisa sia-sia.
Sebab, dalam prosesnya perlu ada pembentukan panitia angket yang di dalamnya mewakili persetujuan seluruh fraksi partai di DPR. Sementara saat ini, sejumlah partai telah menyatakan penolakannya atas hak angket.
Partai yang telah menyatakan menolak di antaranya Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
"Itu yang tadi saya bilang, 'ejakulasi dini', kepotong di tengah jalan," ujar Zainal dalam diskusi di bilangan Kuningan, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Namun, Zainal juga tak memungkiri jika nantinya anggota DPR melakukan manuver politik untuk melancarkan kepentingannya tersebut.
Zainal kemudian mengingatkan akan proses pergantian pimpinan Dewan Pimpinan Daerah yang berlangsung penuh kontroversi.
"Siapa yang tahu akrobat-akrobat di sana, sama saja dengan ketua DPD, tapi 'jadi juga itu barang' (pergantian pimpinan tetap berlangsung)," kata Zainal.
(Baca juga: Waketum PPP Harap Fraksi Penolak Hak Angket Tetap Konsisten)
Oleh karena itu, menurut Zainal, titik krusial upaya pelemahan KPK melalui hak angket ada pada pembentukan panitia angket. Jika sejumlah fraksi konsisten untuk tidak sepakat memberikan dukungan, maka hak angket pun batal.
"Tahapan berikutnya adalah tergantung DPR, mau membatalkan lagi enggak untuk membatalkan itu. Atau menuju ke arah pembentukan pansus," kata Zainal.
Usulan hak angket itu dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
(Baca: Penyidik Kasus E-KTP Sebut Miryam Mengaku Diancam Sejumlah Anggota DPR)
Menanggapi hal itu, Komisi III pun mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam untuk membuktikan pernyataan tersebut benar disampaikan oleh yang bersangkutan.
Adapun Miryam kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
(Baca juga: Hak Angket Modus Baru Melemahkan KPK)