JAKARTA, KOMPAS.com - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melayangkan surat keberatan atas proses persetujuan hak angket DPR ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketua Fraksi PKS di DPR RI Jazuli Juwaini menyatakan, PKS keberatan atas pengambilan keputusan yang sepihak.
Rapat paripurna pengambilan keputusan soal hak angket ini dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.
"Dengan surat ini, kami Fraksi PKS DPR RI menyampaikan keberatan dan mohon untuk ditinjau kembali keputusan Rapat Paripurna, Jumat 28 April 2017 tentang Usulan Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Jazuli, dalam surat yang dilayangkan pada Selasa (2/5/2017).
Sekretaris Fraksi PKS Sukamta turut menandatangani surat tersebut.
(Baca: 24.000 Netizen Teken Petisi Lawan Hak Angket KPK)
Menurut Jazuli, pimpinan rapat seharusnya memerhatikan suara yang berkembang dalam rapat, baik suara dari anggota maupun fraksi.
Hal ini diatur dalam Tata Tertib DPR RI tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas Pimpinan DPR, yaitu Pasal 31 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa, “Pimpinan DPR bertugas memimpin Sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan” serta Pasal 32 ayat (1) huruf g dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, “Pimpinan DPR mengambil kesimpulan berdasarkan pendapat Anggota/Fraksi”.
Jazuli mengatakan, tata cara pengambilan keputusan pada rapat paripurna pada Jumat lalu, tak dilakukan sesuai ketentuan yang ada.
"Dibuktikan dengan belum diberikannya kesempatan kepada Fraksi PKS DPR RI/Anggota yang diberi mandat resmi oleh Pimpinan Fraksi untuk menyampaikan pendapat fraksi yaitu menolak usulan hak angket tentang Komisi Pemberantasan Korupsi," ujar Anggota Komisi I DPR RI itu.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
(Baca juga: Hak Angket Modus Baru Melemahkan KPK)
Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan politisi Hanura Miryam S Haryani, mengatakan bahwa Miryam ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.
Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di Gedung KPK.
Para anggota DPR yang namanya disebut langsung bereaksi. Penggunaan hak angket kemudian muncul.
Dalam rapat paripurna pada Jumat lalu, Taufiqulhadi selaku perwakilan pengusul menyampaikan sejumlah latar belakang pengusulan hak angket itu.
Salah satunya terkait tata kelola anggaran, misalnya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepatuhan KPK Tahun 2015 tercatat 7 indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Selain itu, terkait tata kelola dokumentasi dalam proses hukum penindakan dugaan kasus korupsi, yakni terjadinya "kebocoran" dokumen dalam proses hukum seperti Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dan surat cegah tangkal (cekal), serta beberapa temuan lainnya yang akan didalami dalam pelaksanaan hak angket nanti.
Setelah disahkan, DPR langsung dikritik berbagai pihak.
Elite parpol belakangan menyatakan menolak penggunaan hak angket tersebut.