JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta kepada Mahkamah Agung untuk merevisi Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Lalola Easter menilai SEMA 4/2016 berpotensi menghambat pemberantasan korupsi.
Hal itu terlihat pada Bagian A, angka 6 pada SEMA 4/2016. Edaran tersebut menyebutkan bahwa instansi yang memiliki kewenangan untuk menyatakan ada tidaknya kerugian negara berada pada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional.
"Selain BPK tidak berwenang. Badan audit lain, termasuk BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) hanya berwenang mengaudit dan memeriksa pengelolaan keuangan negara," kata Lalola melalui keterangan tertulis, Kamis (20/1/2017).
Lalola menyebutkan, insitusi lain di luar BPK dalam menyatakan kerugian negara merupakan kebutuhan mendesak dalam upaya pemberantasan korupsi, terlebih, dalam pembuktian di pengadilan.
Berdasarkan pemantauan ICW pada semester I 2016, sekitar 76,56 persen atau 294 terdakwa dijerat menggunakan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Pedoman ini berpotensi menimbulkan multitafsir perihal institusi mana yang berwenang menghitung kerugian negara, guna pembuktian di pengadilan," ucap Lalola.
Selain itu, Lalola khawatir upaya perhitungan kerugian negara oleh BPKP kembali menuai perdebatan. Padahal, lanjut dia, BPKP memiliki keberhasilan dalam melakukan perhitungan kerugian negara.
"Terbaru adalah kasus e-KTP dengan potensi kerugian negara Rp 2,3 triliun," ucap Lalola.
SEMA Nomor 4/2016 diterbitkan oleh MA pada 9 Desember 2016 lalu. Surat Edaran itu disampaikan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di seluruh Indonesia.