JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengaku sudah bertanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi perihal adanya direktur Badan Usaha Milik Negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Menurut Teten, berdasarkan keterangan KPK, orang tersebut kini sudah tak lagi menjabat sebagai Dirut.
"Waktu saya konfirmasi ke KPK, (pejabat) BUMN yang menerima (suap) itu tahun lalu, peristiwanya tahun lalu, KPK kan menerima laporan dari Singapura, jadi yang bersangkutan bukan lagi Dirut BUMN," kata Teten.
Hal tersebut disampaikan Teten kepada wartawan usai menghadiri seminar antikorupsi yang digelar Transaprency International (TI), di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. Namun Teten tak menyebut siapa pihak di KPK yang ia konfirmasi.
Teten pun menganggap praktik korupsi di BUMN bukan cerita baru dan sudah lama terjadi. Oleh karena itu butuh pembenahan menyeluruh.
Pemerintah, kata dia, sudah mengambil solusi dengan membentuk induk usaha (holding company) BUMN yang memiliki lini bisnis sejenis.
Ditargetkan, tahun ini sebanyak enam holding BUMN bisa terealisasi. Enam holding tersebut akan membidangi sektor minyak dan gas, pertambangan, jalan tol, jasa keuangan, perumahan, dan pangan.
"Kita liat lah, BUMN pemerintah lebih banyak ruginya, kenapa swasta selalu lebih berkembang, maju, nah karena itu ide holdingnya," ucap Teten.
Sementara Alexander Marwata yang juga ditemui usai acara, enggan berbicara banyak mengenai kasus yang menjerat salah satu Dirut BUMN.
Dia hanya memastikan bahwa KPK tidak akan terhambat meski aliran dananya disembunyikan di Singapura.
Sebab KPK juga akan menjalin kerjasama dengan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), lembaga pemberantasan korupsi di Singapura.
Penyelidikan terkait korupsi di BUMN itu dilontarkan Ketua KPK Agus Rahardjo. (Baca: KPK Selidiki Rekening Tersembunyi Milik Direksi BUMN di Singapura)
Menurut Agus, Direktur BUMN tersebut menerima dan menyimpan uang di Singapura, diduga untuk menghindari Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.