Dalam konteks penanganan pelanggaran pemilu, permasalahan mengenai penasfiran literal timbul di saat Bawaslu fokus pada pemenuhan ketentuan eksplisit semata.
Hal ini terjadi kala Bawaslu memiliki kewenangan untuk memeriksa suatu laporan dengan alasan kurangnya alat bukti sebagai syarat materiil laporan pelanggaran pemilu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
Kondisi ini menjadi pelik dengan tidak adanya satu ketentuan pun dalam peraturan tersebut yang mengatur pemberian penjelasan mengenai kekurangan bukti tersebut di mana pemohon hanya sebatas mengetahui laporannya tidak dapat ditindaklanjuti saja sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
Ketiadaan penjelasan tersebut mengganggu rasa keadilan di tengah masyarakat karena tidak terdapat akuntabilitas terhadap alasan penolakan laporan oleh Bawaslu.
Akuntabilitas secara konsep merupakan pertanggungjawaban pihak yang diberikan mandat untuk berkuasa, yakni pemerintah terhadap pihak yang memberi mandat, yaitu rakyat (Miriam Budiarjo, 2008).
Meskipun tidak termasuk ke dalam cabang kekuasaan eksekutif, Bawaslu dalam hal ini tetap dapat dikategorikan sebagai pemerintah mengingat kedudukannya yang merupakan lembaga negara independen dengan tugas sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu (Eki Furqon, 2020).
Kedudukannya sebagai lembaga negara membuat Bawaslu harus memenuhi konsep akuntabilitas dalam pelaksanaan setiap pekerjaannya.
Dalam realita penanganan perkara oleh Bawaslu, akuntabilitas masih sebatas pemenuhan secara formil semata terhadap setiap laporan yang tercermin dari pengumuman penolakan laporan hanya berisikan pernyataan ditolak saja karena tidak menguraikan kekurangan bukti maupun kekurangan lainnya yang harus dipenuhi oleh pemohon.
Padahal, kecurangan sekecil apapun seyogyanya dimaknai sebagai pelanggaran pemilu karena menciderai rasa keadilan masyarakat dan semangat penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Lebih lanjut, penolakan karena kurangnya alat bukti membuat Bawaslu tidak melakukan pemeriksaan substansial terhadap banyak laporan pelanggaran pemilihan umum.
Kondisi ini membuat banyak laporan yang mentok di tahap pemeriksaan permulaan semata tanpa adanya pengecekan terhadap subtansi laporannya.
Tidak dicermatinya substansi laporan akibat permasalahan formil ini menciderai rasa keadilan masyarakat karena penanganan pelanggaran pemilu hanya dinilai berdasarkan prosedural semata tanpa mengkaji substansi laporan pelanggaran pemilu tersebut.
Kondisi ini menjadi landasan bagi rekomendasi MK untuk melakukan perubahan mekanisme pengawasan pemilihan umum, termasuk tata cara penanganan tindak lanjut pelanggaran pemilihan umum sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya.
Di sisi lain, pembaharuan tersebut juga dapat dilakukan dengan mekanisme lain seperti menyediakan mekanisme upaya hukum terhadap laporan yang ditolak Bawaslu untuk ditindaklanjuti.
Upaya hukum merupakan suatu hak yang diberikan kepada masyarakat yang tidak puas terhadap putusan lembaga peradilan/quasi peradilan untuk membatalkan putusan tersebut karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi dirinya (Putra Halomoan, 2015).