Penantian tersebut berakhir dengan adanya pembacaan putusan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) nomor urut 1 dan 3, yang kalah dalam Pilpres 2014.
Putusan yang tebalnya lebih dari 1.000 halaman ini memang memiliki amar putusan ditolak. Namun ada hal yang baru pertama kali terjadi dalam putusan perkara PHPU, yaitu munculnya dissenting opinion dari majelis hakim.
Pada perkara ini, ada tiga hakim menyatakan dissenting opinion. Sementara lima hakim menolak permohonan.
Terlepas dari komposisi hakim yang menerima maupun menolak, pertimbangan majelis (ratio decidendi) yang menjadi dasar pertimbangan amar putusan dan argumen dissenting opinion memberikan banyak sekali pembelajaran dan saran yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki kualitas pemilihan umum Indonesia secara umum kedepannya.
Salah satu permasalahan penting dalam ratio decidendi dari putusan ini adalah pertimbangan mengenai dalil dari permohonan paslon nomor urut 1 yang menyoal ketidaknetralan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara pemilu karena tidak menindaklanjuti ratusan permohonan yang diajukan pemohon (Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 hlm. 876).
Dalam putusan tersebut, MK menyatakan tidak terdapat bukti yang cukup meyakinkan untuk dapat membuktikan bahwa Bawaslu tidak memproses pelanggaran pemilu oleh paslon nomor urut 2 (Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 hlm. 883).
Meskipun demikian, MK menyatakan terdapat sebagian laporan pelanggaran ditindaklanjuti secara formalistik belaka (Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 hlm. 883).
Kondisi ini membuat MK dalam putusan tersebut menyatakan bahwa perlu dilakukan perbaikan terhadap mekanisme pengawasan pemilihan umum yang dilakukan oleh Bawaslu di masa mendatang.
Perubahan mekanisme pengawasan tersebut mencakup pengaturan terhadap tata cara penanganan terhadap pelanggaran pemilu (Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 hlm. 883).
MK menilai, seharusnya penanganan pemilu oleh Bawaslu menyentuh pada substansi laporan untuk menilai ada tidaknya pelanggaran pemilu dalam rangka menjaga penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas (Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 hlm. 883).
Pernyataan yang cukup keras dari MK tersebut menggambarkan realita dari permasalahan laten Bawaslu dalam penanganan laporan pelanggaran pemilu selama ini.
Permasalahan laten tersebut adalah penanganan kasus pelanggaran pemilu yang bersifat formalistik (Veri Junaidi, Fadli Ramadhanil, dan Firmansyah Arifin, 2014).
Dalam penegakkan hukum, penanganan secara formalistik timbul sebagai akibat penggunaan penafsiran literal terhadap suatu ketentuan yang berlaku (Perus CKL Bello, 2023).
Penafsiran literal merupakan salah satu jenis penafsiran hukum di mana pemaknaan terhadap suatu ketentuan bertumpu pada teks tertulis suatu ketentuan semata (Mark Greenberg, 2020).
Dalam konteks penanganan pelanggaran pemilu, permasalahan mengenai penasfiran literal timbul di saat Bawaslu fokus pada pemenuhan ketentuan eksplisit semata.
Hal ini terjadi kala Bawaslu memiliki kewenangan untuk memeriksa suatu laporan dengan alasan kurangnya alat bukti sebagai syarat materiil laporan pelanggaran pemilu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
Kondisi ini menjadi pelik dengan tidak adanya satu ketentuan pun dalam peraturan tersebut yang mengatur pemberian penjelasan mengenai kekurangan bukti tersebut di mana pemohon hanya sebatas mengetahui laporannya tidak dapat ditindaklanjuti saja sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.
Ketiadaan penjelasan tersebut mengganggu rasa keadilan di tengah masyarakat karena tidak terdapat akuntabilitas terhadap alasan penolakan laporan oleh Bawaslu.
Akuntabilitas secara konsep merupakan pertanggungjawaban pihak yang diberikan mandat untuk berkuasa, yakni pemerintah terhadap pihak yang memberi mandat, yaitu rakyat (Miriam Budiarjo, 2008).
Meskipun tidak termasuk ke dalam cabang kekuasaan eksekutif, Bawaslu dalam hal ini tetap dapat dikategorikan sebagai pemerintah mengingat kedudukannya yang merupakan lembaga negara independen dengan tugas sebagai pengawas penyelenggaraan pemilu (Eki Furqon, 2020).
Kedudukannya sebagai lembaga negara membuat Bawaslu harus memenuhi konsep akuntabilitas dalam pelaksanaan setiap pekerjaannya.
Dalam realita penanganan perkara oleh Bawaslu, akuntabilitas masih sebatas pemenuhan secara formil semata terhadap setiap laporan yang tercermin dari pengumuman penolakan laporan hanya berisikan pernyataan ditolak saja karena tidak menguraikan kekurangan bukti maupun kekurangan lainnya yang harus dipenuhi oleh pemohon.
Padahal, kecurangan sekecil apapun seyogyanya dimaknai sebagai pelanggaran pemilu karena menciderai rasa keadilan masyarakat dan semangat penyelenggaraan pemilu yang demokratis.
Lebih lanjut, penolakan karena kurangnya alat bukti membuat Bawaslu tidak melakukan pemeriksaan substansial terhadap banyak laporan pelanggaran pemilihan umum.
Kondisi ini membuat banyak laporan yang mentok di tahap pemeriksaan permulaan semata tanpa adanya pengecekan terhadap subtansi laporannya.
Tidak dicermatinya substansi laporan akibat permasalahan formil ini menciderai rasa keadilan masyarakat karena penanganan pelanggaran pemilu hanya dinilai berdasarkan prosedural semata tanpa mengkaji substansi laporan pelanggaran pemilu tersebut.
Kondisi ini menjadi landasan bagi rekomendasi MK untuk melakukan perubahan mekanisme pengawasan pemilihan umum, termasuk tata cara penanganan tindak lanjut pelanggaran pemilihan umum sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya.
Di sisi lain, pembaharuan tersebut juga dapat dilakukan dengan mekanisme lain seperti menyediakan mekanisme upaya hukum terhadap laporan yang ditolak Bawaslu untuk ditindaklanjuti.
Upaya hukum merupakan suatu hak yang diberikan kepada masyarakat yang tidak puas terhadap putusan lembaga peradilan/quasi peradilan untuk membatalkan putusan tersebut karena dinilai tidak memenuhi rasa keadilan bagi dirinya (Putra Halomoan, 2015).
Bawaslu termasuk ke dalam lembaga quasi peradilan dengan kewenangannya untuk menyelesaikan sengketa proses pemilu di mana putusan yang dikeluarkannya memiliki upaya hukum banding yang dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Aprilian Sumodiningrat, 2022).
Sayangnya, upaya hukum tersebut hanya tersedia bagi putusan Bawaslu semata, bukan pada laporan yang tidak ditindaklanjuti oleh Bawaslu yang membuatnya tidak memiliki jalan keluar untuk memenuhi rasa keadilannya dengan pengaturan yang ada saat ini.
Oleh karena itu, pembentukan mekanisme upaya hukum tersebut diperlukan sebagai upaya menghadirkan keadilan substansial dalam penanganan pelanggaran pemilu.
Berdasarkan permasalahan dan solusi yang coba diuraikan pada paragraf-paragraf sebelumnya, eksistensi keadilan substansial menjadi catatan paling besar dalam proses pengawasan pemilu di hari ini.
Pengawasan pemilu yang dilakukan Bawaslu saat ini menekankan kepada kepatuhan terhadap regulasi prosedural untuk memastikan setiap tindakan yang dilakukan beralasan secara hukum sekaligus tidak menyimpangi regulasi apapun dan terbukti segala tindakan Bawaslu sudah tepat secara prosedural sebagaimana disebutkan dalam Putusan PHPU (Putusan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 hlm. 883).
Sayangnya, kepatuhan prosedural ini seringkali dibenturkan dengan keadilan substantif dengan alasan keterbatasan ruang lingkup pengaturan dalam regulasi.
Padahal, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan karena pemenuhan keadilan substantif dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
https://nasional.kompas.com/read/2024/04/23/15334841/menyoal-tindak-lanjut-pelanggaran-pemilu-yang-formalistik-ala-bawaslu