Sedangkan Jakarta, meski dinobatkan sebagai daerah yang memiliki kekhususan, namun kekhususan tersebut tidak memberi keleluasaan pada presiden untuk menunjuk gubernur DKJ secara langsung.
Sebagaimana diatur dalam RUU DKJ, kekhususan yang dimiliki oleh Jakarta dalam hal ini terkait dengan fungsi sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global. Hal ini lantas tidak menjadikan Jakarta memiliki kekhususan untuk meniadakan Pilkada secara langsung.
Sebab, ketika Jakarta memiliki kekhususan sebagai ibu kota pun, UU No 29 Tahun 2007 tetap memberi kesempatan kepada masyarakat Jakarta untuk memilih Pemerintah Provinsi secara langsung.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU No 29 Tahun 2007 yang mengatur bahwa pemilihan gubernur dan wakil gubernur perlu memperoleh legitimasi kuat dari rakyat dan memperhatikan warga Jakarta yang multikultural.
Mengingat komposisi masyarakat Jakarta yang multikultural tersebut, maka sudah sepatutnya pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
Perlu dipertegas, meskipun penunjukan langsung oleh presiden dapat dikategorikan sebagai pemilihan demokratis, tetapi hal tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang mengembalikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat.
Pemilihan kepala daerah dapat dianggap demokratis selama dipilih sesuai dengan kehendak rakyat serta berlandaskan asas keadilan dan kejujuran.
Praktik pemilihan kepala daerah melalui penunjukan langsung oleh presiden maupun lembaga negara lainnya bukanlah langkah ideal.
Bahkan jika kembali ke 2014 lalu, usulan pemilihan kepala daerah oleh DPRD sempat diatur dalam UU No 22 Tahun 2014.
Namun, karena mendapat penolakan besar dari masyarakat, Presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengeluarkan Perppu untuk membatalkan undang-undang tersebut dan mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung oleh rakyat.
Hal tersebut cukup membuktikan bahwa rencana penunjukan gubernur DKJ oleh Presiden bukanlah pilihan tepat untuk diterapkan di Indonesia.
Pun, jika kita merujuk pada negara lain, praktik pemilihan kepala daerah oleh presiden umumnya hanya terjadi di negara-negara komunis dan otoriter, seperti China, Vietnam, dan Rusia.
Jika kemudian pemilihan langsung oleh rakyat dikatakan hanya akan membebani pengeluaran negara dan menciptakan ongkos politik yang mahal, maka hal tersebut sebenarnya merupakan konsekuensi negara demokrasi.
Lagipula, pelaksanaan Pilkada serentak oleh 545 daerah pada 2024 ini sudah cukup banyak mengefisienkan anggaran Pilkada.
Adapun persoalan mahalnya ongkos politik tidak lantas teratasi dengan meniadakan pemilihan umum secara langsung, melainkan membutuhkan perbaikan sistem pendanaan kampanye.