Mereka secara terang-terangan melanggar perjanjian dan komitmen politik yang mereka setujui sebelumnya.
Namun, di era canggih saat ini, individu dan lembaga politik tampaknya lebih memilih fleksibilitas. Akses luas terhadap pengetahuan dan informasi telah menyebabkan evolusi atau setidaknya redefinisi kesetiaan politik.
Artinya, aspirasi atau misi untuk membangun negara kini seolah tak dapat dibatasi atau didominasi oleh satu atau dua partai politik tertentu.
Lebih lanjut, karena berbagai hasil riset dan opsi kebijakan kini mudah diakses dan dipelajari, entitas-entitas politik mungkin melihat bahwa mengubah preferensi politik lebih masuk akal ketimbang bertahan pada satu pilihan. Apalagi, jika satu pilihan itu dianggap korup atau tak efektif.
Di Indonesia, agaknya pandangan inilah yang kini mendominasi: setiap partai dapat dipilih oleh siapa pun yang bercita-cita membangun bangsa.
Ini memungkinkan individu, misalnya, menjadi wali kota melalui Partai X, kemudian gubernur dari Partai Y, dan akhirnya, mencalonkan diri sebagai presiden lewat Partai Z.
Proses ini erat kaitannya dengan perjalanan yang dilalui, khususnya, oleh Gibran dan Anies Baswedan.
Hal ini juga mungkin yang terjadi pada pergeseran pilihan Presiden Jokowi untuk mendukung Prabowo, yang oleh banyak pengamat dianggap sebagai kunci kemenangan Prabowo.
Banyak yang berpendapat bahwa hal terakhir di atas lebih merupakan langkah oportunis oleh presiden untuk mengamankan dinasti politiknya.
Argumen tersebut mungkin valid. Namun, fakta bahwa Presiden Jokowi memilih Prabowo dengan Partai Gerindra, yang selama satu dekade terakhir terus-menerus ‘mencela’ dirinya, sepertinya melawan argumen tersebut.
Gerindra, misalnya, berulang kali menyatakan bahwa presiden telah menyesatkan dan memperdalam kemiskinan rakyat dengan upayanya untuk mereformasi subsidi BBM.
Kendati tak ada yang dapat menyangkal atau menjamin apakah itu untuk keuntungan pribadi, dukungan presiden terhadap Prabowo, dalam batas tertentu, menunjukkan kesetiaannya terhadap misi pembangunannya untuk Indonesia.
Presiden dan Prabowo pun seringkali sama-sama menyatakan bahwa keberlanjutan kebijakan adalah kunci bagi Indonesia untuk maju.
Tim kampanye Prabowo-Gibran juga terus menyuarakan narasi keberlanjutan di banyak kesempatan untuk membedakannya dengan, misalnya, 'perubahan' yang dikampanyekan kandidat lain.
Diskusi tentang pengkhianatan politik memang ada, tetapi relatif sepi. Mungkin, publik sudah lelah membahas zigzag politik yang sering terjadi. Semua kubu politik, pada akhirnya, ‘sebelas-dua belas’ cara dan gerak politiknya.