JAKARTA, KOMPAS.com - Soliditas partai-partai politik pengusung calon presiden (Capres) nomor urut 1 Anies Baswedan dan Capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo buat mendorong hak angket di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait penyelidikan dugaan kecurangan pada pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 diragukan.
Peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro memaparkan sejumlah faktor yang ditengarai bakal membuat kedua kubu tidak bakal 1 suara dalam upaya menggulirkan hak angket.
"Soliditas partai-partai di koalisi 1 dan 3 dalam rencana mengajukan hak angket ataupun hak interpelasi terhadap presiden, terhadap pemerintah mengenai Pemilu 2024 ini patut diragukan," kata Bawono saat dihubungi pada Selasa (20/2/2024).
Salah satu peristiwa yang menurut Bawono bakal membuat kedua kubu sulit mencapai kesamaan pandangan buat mengajukan hak angket di DPR adalah makan malam antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, di Istana Negara pada Minggu (18/2/2024).
Baca juga: Soal Hak Angket Dugaan Kecurangan Pemilu, PKS: Kami Kaji Dulu
Menurut Bawono, peristiwa itu melambangkan 2 figur penting yang saling berhadapan pada Pilpres 2024. Yakni Jokowi sebagai perlambang kekuatan politik di balik pasangan Capres-Cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, dan Surya Paloh sebagai "kingmaker" kubu Capres-Cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Bawono menilai lewat pertemuan memberi sinyal bakal ada langkah kompromi yang diambil meski sepanjang proses Pilpres 2024 kedua belah pihak ada dalam posisi berhadapan.
"Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh beberapa hari lalu itu merupakan tanda bahwa soliditas itu sudah tidak mungkin tercapai," ujar Bawono.
"Karena pertemuan tersebut sekaligus menandakan adanya kesediaan dari kedua belah pihak untuk bertemu pada satu titik kesamaan atau titik kompromi," sambung Bawono.
Baca juga: Menilik Kans Kubu Anies dan Ganjar Dorong Hak Angket soal Dugaan Kecurangan Pemilu
Faktor lainnya yang menurut Bawono bakal menjadi ganjalan buat mengajukan hak angket di DPR adalah partai-partai yang ada di kedua kubu, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berada dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Jika mereka tetap menggulirkan hak angket maka dapat dipandang sebagai sikap yang kontraproduktif terhadap partai dan bisa secara langsung membentuk opini negatif bahwa partai-partai itu seolah menjadi "musuh dalam selimut" bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.
"Realitas politik itu tentu akan membuat mereka kikuk atau tidak leluasa dalam mengajukan hak interpelasi ataupun hak angket, karena saat ini hingga Oktober mendatang mereka masih menjadi bagian dari pemerintahan koalisi Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin," ucap Bawono.
Sebelumnya diberitakan, Ganjar Pranowo yang pertama menyuarakan soal hak angket.
Menurut Ganjar, Pemilu 2024 ditengarai dinodai aksi kecurangan melibatkan sejumlah lembaga negara.
Baca juga: Ganjar Dorong Hak Angket DPR, Sekjen Gerindra: Sesuatu yang Tidak Perlu
"Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggung jawaban KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) selaku penyelenggara Pemilu," kata Ganjar dalam keterangannya, Senin (19/2/2024) lalu.
Soal tuduhan kecurangan itu, kata Ganjar, harus diusut oleh oleh DPR dengan memanggil seluruh penyelenggara Pemilu sebagai wujud fungsi kendali dan pengawasan.