JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana membantah revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena eks Ketua KPK, Agus Rahardjo menolak perintah Presiden Joko Widodo untuk menghentikan penanganan kasus korupsi e-KTP dengan tersangka Setya Novanto.
Adapun Setya Novanto saat itu merupakan Ketua DPR RI sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung pemerintahan Jokowi.
Ari menyampaikan, revisi UU KPK merupakan inisiatif DPR pada tahun 2019, bukan inisiatif pemerintah.
"Saya ingin sampaikan juga bahwa revisi UU KPK itu adalah inisiatif DPR pada tahun 2019, dan bukan inisiatif dari pemerintah," kata Ari di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Jumat (1/12/2023).
Baca juga: Agus Rahardjo Cerita Saat KPK Diserang Isu Sarang Taliban Sebelum Revisi UU KPK
Ari mengatakan, revisi UU KPK merupakan proses yang berbeda dari kasus korupsi e-KTP.
Sebab, revisi baru dilakukan pada tahun 2019, selang dua tahun sejak Setya Novanto ditetapkan menjadi tersangka pada Juli 2017.
"Revisi UU KPK kan terjadi tahun 2019 ya, dua tahun setelah penetapan Pak Setya Novanto. Ini kita bisa lihat apakah itu ada hubungannya, karena ini proses yang berbeda ya, yang terjadi 2 tahun setelah itu," ucap Ari.
Istana pun membantah telah terjadi pertemuan antara Kepala Negara dengan Agus Rahardjo ketika menjadi Ketua KPK periode 2015-2019 yang meminta pemeriksaan kasus korupsi e-KTP dihentikan.
Ari menyampaikan, pada kenyataannya, kasus korupsi megaproyek e-KTP itu tetap berjalan sesuai proses hukum yang berlaku.
Eks Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto tetap dinyatakan bersalah dan mendekam di jeruji besi.
Di sisi lain, menurut Ari, Presiden Jokowi secara resmi menegaskan agar Setya Novanto mengikuti proses hukum yang berlaku.
Pernyataan itu dilayangkan sang presiden pada 17 November 2017.
Presiden, kata Ari, yakin proses hukum akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, ia menampik terjadi pertemuan antara Jokowi dan Agus kala itu.
"Bahwa Bapak Presiden yakin bahwa proses hukum itu akan berjalan dengan baik. Saya ingin sampaikan juga bahwa revisi UU KPK itu adalah inisiatif DPR pada tahun 2019 dan bukan inisiatif dari pemerintah," ucap Ari.
Sebelumnya diberitakan, Agus menilai revisi UU KPK tidak terlepas dari keputusannya menolak perintah Presiden Jokowi untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov).
Pada 17 Juli 2017, ia ditetapkan sebagai tersangka megaproyek e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun.
Baca juga: Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP Setya Novanto
Agus mengungkapkan, saat itu memang sudah ada upaya menjadikan KPK sebagai alat kekuasaan.
Namun, upaya tersebut tidak berhasil karena saat itu KPK masih independen dan tidak berada di rumpun eksekutif atau di bawah presiden.
“Kita masih bisa menyangkal atau bisa tidak mengikuti apa yang diinginkan presiden,” ujar Agus dalam wawancara dengan Rosi yang disiarkan di Kompas TV, Kamis (30/11/2023).
Agus kemudian menceritakan bagaimana dirinya dipanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendirian ke Istana pada kurun waktu 2017.
Agus menyebut, Jokowi saat itu marah-marah dan meminta KPK menghentikan kasus e-KTP Setnov.
Namun, ia tidak bisa memenuhi permintaan tersebut karena surat perintah penyidikan (sprindik) sudah diterbitkan tiga minggu sebelumnya.
Di sisi lain, saat itu dalam Undang-Undang KPK tidak diatur mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
“Sprindik itu tidak mungkin karena KPK tidak punya SP3, tidak mungkin saya berhentikan, saya batalkan (penetapan tersangka Setnov),” kata Agus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.