Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh. Suaib Mappasila
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Mengenang 93 Tahun Pleidoi Indonesia Menggugat

Kompas.com - 01/12/2023, 12:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DI TENGAH isu politik yang berkembang semakin tidak menentu akhir-akhir ini, mari sedikit mengingat salah satu fase terpenting dalam narasi sejarah perjuangan Indonesia.

Tepat pada 1 Desember 1930, seorang putra Indonesia membacakan pledoinya di hadapan pengadilan kolonial Belanda.

Anak muda itu bernama Soekarno dan Pledoi itu sekarang kita kenal dengan “Indonesia Menggugat”.

Ia bersama tiga orang lainnya, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata, didakwa melanggar artikel 169 yang di dalam akte gugatannya berisi tuduhan-tuduhan pelanggaran artikel-artikel pemberontakan. (Indonesia Menggugat; 1 Desember 1930).

Yang mengesankan, pleidoi ini dibuat di dalam ruang penjara yang pengap, oleh anak muda yang belum genap berusia 30 tahun.

Dengan didukung kekayaan referensi luar biasa, dan seni penuturan yang fasih, Soekarno berhasil menyulap posisinya sebagai terdakwa, menjadi pihak penggugat bagi kepentingan bangsanya, dan seluruh bangsa-bangsa terjajah di dunia.

Pledoi ini, selain Sumpah Pemuda yang sudah dideklarasikan dua tahun sebelumnya, menjadi tiang pancang NKRI.

Dalam kesempatan tersebut, dengan sangat komprehensif dan detail, Soekarno mendefinisikan jejak kejahatan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa yang sudah berlangsung berabad-abad, dan terjadi hampir di seluruh belahan dunia.

Mungkin inilah argumentasi paling lengkap dan komprehensif yang mengurai struktur, anatomi dan modus operandi kekuasaan kolonial selama ratusan tahun di bumi nusantara.

Dalam pleidoi tersebut, Soekarno berhasil mengungkap metode politik pecah belah (divide et impera) yang ternyata menjadi teknik yang sama dilakukan oleh semua negara Eropa dalam menaklukkan negara-negara koloninya di seluruh dunia.

Soekarno mengutip ungkapan Prof. Seeley dalam bukunya “The expansion of England” tentang motode panjajahan Inggris di India, bahwa “Rakyat yang tidak tergabung satu sama lain oleh perasaan-perasaan yang sama dan kepentingan-kepentingan yang sama, adalah gampang ditaklukkan, oleh karena mereka bisa diadu-dombakan satu sama lain”.

Dengan demikian, tanpa ragu Soekarno menyerukan Persatuan Indonesia. Untuk menghadapi politik pecah belah tersebut, bangsa Indonesia harus merapatkan barisan dalam “natio-nalisme Indonesia”.

Sebab dalam ketidak-rukunan dan perpecahan itulah letak kemenangan musuh. Maka bagi Soekarno dan banyak pejuang lainnya, persatuan Indonesia merupakan jalan perjuangan, sekaligus pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Saat persatuan Indonesia terwujud, saat itulah Indonesia merdeka.

Berkaca dari Soekarno, dan analisisnya mengenai fenomena zaman ketika itu, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan zaman kita saat ini.

Kesimpulannya sebenarnya juga tak jauh beda; persatuan Indonesia ada kunci pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.

Memang, pada saat ini kita tidak lagi berstatus sebagai negara Kolonial. Namun secara substansi, sebenarnya bangsa kita belum sepenuhnya merdeka.

Sebagai contoh, di bidang ekonomi, tingkat kemandirian kita masih sangat minim. Dan premis tentang “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” masih jauh panggang dari api.

Demikian juga di bidang hukum, meski sudah ditetapkan KUHP yang baru, namun hingga saat ini kita masih belum sepenuhnya meninggalkan KUHP terjemahan hukum kolonial yang memang didesain untuk negara jajahan.

Jangan lupa, secara teoritis, hukum adalah instrumen rekayasa sosial. Sehingga wajar bila negara masih menerapkan hukum secara kurang manusiawi.

Sebab KUHP memang didesain untuk membangun tertib sosial di negara jajahan, bukan untuk melayani warga negara.

Dan sebagai dampaknya, entah disengaja atau tidak, konstuksi elite politik kita akhirnya juga membentuk skema imperialisme. Di mana kelas oligarki sangat berkuasa dan bersifat menegasikan terhadap aspirasi publik.

Bila merujuk pada analisis Soekarno, ternyata gugus persoalan yang kita lihat sekarang di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan yang ada di banyak negara lain, khususnya negara dunia ketiga. Teori-teori kritis menyebut fenomena ini dengan istilah “post-kolonialisme”.

Teori ini meyakini bahwa praktik kolonialisme sebenarnya masih terus berlangsung hingga sekarang, namun dengan metode dan modus operandi yang berbeda.

Sama seperti masa lalu, mereka juga menggunakan sejumlah instrumen politik, ekonomi, perdagangan, hukum, dan kebudayaan untuk melestarikan eksistensinya.

Salah satu ciri umum yang menjadi indikator negara telah tersengat praktik kolonialisme modern, adalah terjadinya anomali dalam perilaku kenegaraannya.

Sebagai contoh, bagaimana kita menjelaskan negara yang tiga perempat wilayahnya adalah lautan, tapi impor garam?

Lalu, bagaimana menjelaskan negara kekayaan hayati lautannya sedemikian kaya, namun masyarakatnya mendapatkan protein bukan dari ikan, tapi dari daging sapi yang diimpor dari negara lain. Impor daging pun, ternyata dikorupsi oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab.

Maka, sehubungan dengan peringatan pledoi Indonesia menggugat 93 tahun yang lalu, ada baiknya hal ini menjadi renungan kebangsaan kita. Sudah selayaknya kita berusaha memetakan secara lebih strategis arah masa depan bangsa kita.

Secara jujur, membaca kembali pledoi “Indonesia Menggugat” hari ini, rasanya seperti “Indonesia digugat”.

Argumentasi Soekarno di ruang pengadilan Belanda 93 tahun yang lalu, seperti menggugat ke-ontentik-an kita sebagai pewaris bumi nusantara, sebagai bangsa Indonesia.

Dan sebagaimana konklusi dari yang disampaikan Soekarno pada masa itu, kunci kemerdekaan Indonesia itu adalah persatuan nasonal.

Namun sebagaimana kita saksikan sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai-nilai persatuan kita terancam oleh eskalasi pertarungan politik yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Padahal, tantangan bangsa ini ke depan akan semakin berat. Sejumlah pakar memprediksi adanya resesi global dalam waktu dekat. Sejumlah negara sudah menjadi korbannya.

Gelombang protes atas kebijakan pemerintah di sejumlah negara menjadi headline di pemberitaan tiap pekan. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat dampaknya akan ikut dirasakan oleh Indonesia.

Terkait hal itu, maka sudah selayaknya kita mulai melupakan semua perbedaan terjadi, serta menyingkirkan sejenak ketegangan politik jelang hajatan Pemilu dan Pilpres 2024.

Lagi pula, bila persatuan Indonesia menjadi penting pada era kolonialisme 93 tahun lalu, bukankah dalam era post-kolonialisme, persatuan Indonesia justru menjadi hal yang maha penting? Wallahualam bi sawab.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Nasional
Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Nasional
Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Nasional
Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Nasional
Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik 'Cicak Vs Buaya Jilid 2'

Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"

Nasional
JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

Nasional
Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Nasional
Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Nasional
PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

Nasional
Solusi Wapres Atasi Kuliah Mahal: Ditanggung Pemerintah, Mahasiswa dan Kampus

Solusi Wapres Atasi Kuliah Mahal: Ditanggung Pemerintah, Mahasiswa dan Kampus

Nasional
Ketua KPU Bantah Dugaan Asusila dengan Anggota PPLN

Ketua KPU Bantah Dugaan Asusila dengan Anggota PPLN

Nasional
Soal Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, Sekjen PDI-P: DPP Dengarkan Harapan Rakyat

Soal Kemungkinan Usung Anies di Pilkada DKI, Sekjen PDI-P: DPP Dengarkan Harapan Rakyat

Nasional
DPR Pastikan Hasil Pertemuan Parlemen di WWF Ke-10 Akan Disampaikan ke IPU

DPR Pastikan Hasil Pertemuan Parlemen di WWF Ke-10 Akan Disampaikan ke IPU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com