Salin Artikel

Mengenang 93 Tahun Pleidoi Indonesia Menggugat

Tepat pada 1 Desember 1930, seorang putra Indonesia membacakan pledoinya di hadapan pengadilan kolonial Belanda.

Anak muda itu bernama Soekarno dan Pledoi itu sekarang kita kenal dengan “Indonesia Menggugat”.

Ia bersama tiga orang lainnya, Gatot Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata, didakwa melanggar artikel 169 yang di dalam akte gugatannya berisi tuduhan-tuduhan pelanggaran artikel-artikel pemberontakan. (Indonesia Menggugat; 1 Desember 1930).

Yang mengesankan, pleidoi ini dibuat di dalam ruang penjara yang pengap, oleh anak muda yang belum genap berusia 30 tahun.

Dengan didukung kekayaan referensi luar biasa, dan seni penuturan yang fasih, Soekarno berhasil menyulap posisinya sebagai terdakwa, menjadi pihak penggugat bagi kepentingan bangsanya, dan seluruh bangsa-bangsa terjajah di dunia.

Pledoi ini, selain Sumpah Pemuda yang sudah dideklarasikan dua tahun sebelumnya, menjadi tiang pancang NKRI.

Dalam kesempatan tersebut, dengan sangat komprehensif dan detail, Soekarno mendefinisikan jejak kejahatan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa yang sudah berlangsung berabad-abad, dan terjadi hampir di seluruh belahan dunia.

Mungkin inilah argumentasi paling lengkap dan komprehensif yang mengurai struktur, anatomi dan modus operandi kekuasaan kolonial selama ratusan tahun di bumi nusantara.

Dalam pleidoi tersebut, Soekarno berhasil mengungkap metode politik pecah belah (divide et impera) yang ternyata menjadi teknik yang sama dilakukan oleh semua negara Eropa dalam menaklukkan negara-negara koloninya di seluruh dunia.

Soekarno mengutip ungkapan Prof. Seeley dalam bukunya “The expansion of England” tentang motode panjajahan Inggris di India, bahwa “Rakyat yang tidak tergabung satu sama lain oleh perasaan-perasaan yang sama dan kepentingan-kepentingan yang sama, adalah gampang ditaklukkan, oleh karena mereka bisa diadu-dombakan satu sama lain”.

Dengan demikian, tanpa ragu Soekarno menyerukan Persatuan Indonesia. Untuk menghadapi politik pecah belah tersebut, bangsa Indonesia harus merapatkan barisan dalam “natio-nalisme Indonesia”.

Sebab dalam ketidak-rukunan dan perpecahan itulah letak kemenangan musuh. Maka bagi Soekarno dan banyak pejuang lainnya, persatuan Indonesia merupakan jalan perjuangan, sekaligus pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Saat persatuan Indonesia terwujud, saat itulah Indonesia merdeka.

Berkaca dari Soekarno, dan analisisnya mengenai fenomena zaman ketika itu, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan zaman kita saat ini.

Kesimpulannya sebenarnya juga tak jauh beda; persatuan Indonesia ada kunci pintu gerbang kemerdekaan Indonesia.

Memang, pada saat ini kita tidak lagi berstatus sebagai negara Kolonial. Namun secara substansi, sebenarnya bangsa kita belum sepenuhnya merdeka.

Sebagai contoh, di bidang ekonomi, tingkat kemandirian kita masih sangat minim. Dan premis tentang “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” masih jauh panggang dari api.

Demikian juga di bidang hukum, meski sudah ditetapkan KUHP yang baru, namun hingga saat ini kita masih belum sepenuhnya meninggalkan KUHP terjemahan hukum kolonial yang memang didesain untuk negara jajahan.

Jangan lupa, secara teoritis, hukum adalah instrumen rekayasa sosial. Sehingga wajar bila negara masih menerapkan hukum secara kurang manusiawi.

Sebab KUHP memang didesain untuk membangun tertib sosial di negara jajahan, bukan untuk melayani warga negara.

Dan sebagai dampaknya, entah disengaja atau tidak, konstuksi elite politik kita akhirnya juga membentuk skema imperialisme. Di mana kelas oligarki sangat berkuasa dan bersifat menegasikan terhadap aspirasi publik.

Bila merujuk pada analisis Soekarno, ternyata gugus persoalan yang kita lihat sekarang di Indonesia, tidak jauh berbeda dengan yang ada di banyak negara lain, khususnya negara dunia ketiga. Teori-teori kritis menyebut fenomena ini dengan istilah “post-kolonialisme”.

Teori ini meyakini bahwa praktik kolonialisme sebenarnya masih terus berlangsung hingga sekarang, namun dengan metode dan modus operandi yang berbeda.

Sama seperti masa lalu, mereka juga menggunakan sejumlah instrumen politik, ekonomi, perdagangan, hukum, dan kebudayaan untuk melestarikan eksistensinya.

Salah satu ciri umum yang menjadi indikator negara telah tersengat praktik kolonialisme modern, adalah terjadinya anomali dalam perilaku kenegaraannya.

Sebagai contoh, bagaimana kita menjelaskan negara yang tiga perempat wilayahnya adalah lautan, tapi impor garam?

Lalu, bagaimana menjelaskan negara kekayaan hayati lautannya sedemikian kaya, namun masyarakatnya mendapatkan protein bukan dari ikan, tapi dari daging sapi yang diimpor dari negara lain. Impor daging pun, ternyata dikorupsi oleh pihak-pihak tidak bertanggungjawab.

Maka, sehubungan dengan peringatan pledoi Indonesia menggugat 93 tahun yang lalu, ada baiknya hal ini menjadi renungan kebangsaan kita. Sudah selayaknya kita berusaha memetakan secara lebih strategis arah masa depan bangsa kita.

Secara jujur, membaca kembali pledoi “Indonesia Menggugat” hari ini, rasanya seperti “Indonesia digugat”.

Argumentasi Soekarno di ruang pengadilan Belanda 93 tahun yang lalu, seperti menggugat ke-ontentik-an kita sebagai pewaris bumi nusantara, sebagai bangsa Indonesia.

Dan sebagaimana konklusi dari yang disampaikan Soekarno pada masa itu, kunci kemerdekaan Indonesia itu adalah persatuan nasonal.

Namun sebagaimana kita saksikan sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, nilai-nilai persatuan kita terancam oleh eskalasi pertarungan politik yang terus meningkat dari waktu ke waktu.

Padahal, tantangan bangsa ini ke depan akan semakin berat. Sejumlah pakar memprediksi adanya resesi global dalam waktu dekat. Sejumlah negara sudah menjadi korbannya.

Gelombang protes atas kebijakan pemerintah di sejumlah negara menjadi headline di pemberitaan tiap pekan. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat dampaknya akan ikut dirasakan oleh Indonesia.

Terkait hal itu, maka sudah selayaknya kita mulai melupakan semua perbedaan terjadi, serta menyingkirkan sejenak ketegangan politik jelang hajatan Pemilu dan Pilpres 2024.

Lagi pula, bila persatuan Indonesia menjadi penting pada era kolonialisme 93 tahun lalu, bukankah dalam era post-kolonialisme, persatuan Indonesia justru menjadi hal yang maha penting? Wallahualam bi sawab.

https://nasional.kompas.com/read/2023/12/01/12303911/mengenang-93-tahun-pleidoi-indonesia-menggugat

Terkini Lainnya

Indonesia Jadi Tuan Rumah WWF 2024, Fahira Idris Paparkan Strategi Hadapi Tantangan SDA

Indonesia Jadi Tuan Rumah WWF 2024, Fahira Idris Paparkan Strategi Hadapi Tantangan SDA

Nasional
Asa PPP Tembus Parlemen Jalur MK di Ambang Sirna

Asa PPP Tembus Parlemen Jalur MK di Ambang Sirna

Nasional
Ingatkan BPKP Jangan Cari-cari Kesalahan, Jokowi: Hanya Akan Perlambat Pembangunan

Ingatkan BPKP Jangan Cari-cari Kesalahan, Jokowi: Hanya Akan Perlambat Pembangunan

Nasional
Ada Serangan Teroris di Malaysia, Densus 88 Aktif Monitor Pergerakan di Tanah Air

Ada Serangan Teroris di Malaysia, Densus 88 Aktif Monitor Pergerakan di Tanah Air

Nasional
Mahfud Blak-blakan Hubungannya dengan Megawati Semakin Dekat Sesudah Ditunjuk Jadi Cawapres

Mahfud Blak-blakan Hubungannya dengan Megawati Semakin Dekat Sesudah Ditunjuk Jadi Cawapres

Nasional
Mahfud Nilai Pemikiran Megawati Harus Diperhatikan jika Ingin Jadi Negara Maju

Mahfud Nilai Pemikiran Megawati Harus Diperhatikan jika Ingin Jadi Negara Maju

Nasional
Mahfud Pesimistis dengan Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo-Gibran

Mahfud Pesimistis dengan Pemberantasan Korupsi di Era Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Akui Langkah Ghufron Laporkan Anggota Dewas ke Polisi Gerus Reputasi Lembaga

KPK Akui Langkah Ghufron Laporkan Anggota Dewas ke Polisi Gerus Reputasi Lembaga

Nasional
Kasus Covid-19 Melonjak di Singapura, Anggota DPR: Kita Antisipasi

Kasus Covid-19 Melonjak di Singapura, Anggota DPR: Kita Antisipasi

Nasional
Mahfud Ungkap Hubungannya dengan Prabowo Selalu Baik, Sebelum atau Setelah Pilpres

Mahfud Ungkap Hubungannya dengan Prabowo Selalu Baik, Sebelum atau Setelah Pilpres

Nasional
Pesimistis KRIS BPJS Terlaksana karena Desain Anggaran Belum Jelas, Anggota DPR: Ini PR Besar Pemerintah

Pesimistis KRIS BPJS Terlaksana karena Desain Anggaran Belum Jelas, Anggota DPR: Ini PR Besar Pemerintah

Nasional
Soal RUU Kementerian Negara, Mahfud: Momentumnya Pancing Kecurigaan Hanya untuk Bagi-bagi Kue Politik

Soal RUU Kementerian Negara, Mahfud: Momentumnya Pancing Kecurigaan Hanya untuk Bagi-bagi Kue Politik

Nasional
Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Nasional
Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Nasional
Jalan Berliku Anies Maju pada Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Jalan Berliku Anies Maju pada Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke