OLIGARKI adalah sistem politik di mana sejumlah kecil individu kaya menguasai ekonomi negara secara signifikan.
Dalam upaya menambah dan mempertahankan kekayaannya, oligarki di banyak negara, termasuk Indonesia, terdorong untuk memasuki dunia politik.
Caranya dengan memberikan modal kepada calon yang maju dalam pemilu atau terjun langsung menjadi politisi untuk bersaing dengan politisi asli.
Tentu saja tidak semua calon peserta pemilu didukung oligarki, banyak juga yang berhasil dengan upaya sendiri, tanpa mengeluarkan dana besar.
Oligarki politik tumbuh karena terdorong peluang terbuka karena besarnya biaya politik. Sementara tidak setiap politisi mampu membiayai aktivitas politik yang semakin banyak.
Sistem proporsional terbuka yang dianut negara menyebabkan para calon harus bersaing dengan calon separtai maupun dengan calon dari partai lain. Keterlibatan partai menjadi minimal, sebaliknya para calon harus super kreatif agar terpilih saat hari pencoblosan.
Biaya pencalonan (mahar politik), biaya kampanye untuk kompetisi yang ketat, dan pemberian uang pengganti suara (serangan fajar) menyebabkan calon-calon yang berdana banyak kemungkinan besar menjadi pemenang.
Oligarki ekonomi beralih menjadi oligarki politik saat pengusaha besar tertantang untuk berkompetisi dalam pemilu/pilkada. Selain untuk meningkatkan status sosialnya, kedudukan kepala daerah juga dapat menambah hartanya, dengan cara-cara legal dan ilegal yang umum dilakukan.
Regulasi yang tidak lengkap dan pengawasan serta penegakan hukum yang lemah menyebabkan tindakan politik ilegal ditengarai tumbuh subur di mana-mana.
Dampak pemilu yang penuh kecurangan terlihat dari adanya kepala-kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK. Cukup banyak juga mantan kepala daerah sudah atau sedang menjalani hukuman.
Berita tentang operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah yang diduga korupsi seperti tidak pernah jeda.
Oligarki merugikan bangsa karena menghambat kemunculan politisi asli yang tidak memiliki dana untuk mengikuti prosedur pemilu secara formal, maupun secara nonformal yang ilegal, namun terpaksa dilakukan.
Termasuk dalam prosedur ilegal adalah menerima sumbangan di luar ketentuan yang ditetapkan peraturan. Seorang calon dalam pilkada juga dilarang memberikan uang atau barang kepada calon pemilih menjelang atau pada hari pencoblosan.
Namun tanpa uang, sulit untuk menang, karena permintaan untuk itu ada, khususnya di masyarakat yang tingkat ekonomi daerahnya rendah dan kesenjangan sosial tinggi, di samping pengawasan yang tidak efektif.
Politisi asli yang mengandalkan niat dan semangat saja bisa kecewa, karena kalah oleh muka-muka baru berbekal dana besar walau dari pinjaman.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.