Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Husen Mony
Dosen

Mengajar Komunikasi Politik & Jurnalistik/Penulis

Menyoroti "Name Calling" Dalam Politik Kita

Kompas.com - 21/09/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

POLITIK kita hari ini, tidak terlepas dari hingar-bingar penggunaan pelabelan (name-caling) dari dan untuk politisi.

Presiden Joko Widodo, misalnya, kerap disebut dengan diksi “planga-plongo”, “otoriter”, “komunis” dan banyak julukan lain, dari lawan-lawan politik yang disematkan padanya.

Terbaru, Jokowi disebut sebagai “bajingan tolol” oleh Rocky Gerung, seorang analis yang kerap menjadi kritikus utama berbagai program dan kebijakan presiden.

Pada konteks lain, merespons perilaku politik yang dimainkan oleh Surya Paloh beserta partai Nasdem dan Anies Baswedan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat memproduksi istilah “musang berbulu domba” untuk menjelaskan perilaku mantan “rekan koalisinya” itu.

Istilah “Musang berbulu Domba” diartikan SBY dalam pengantarnya membuka rapat majelis tinggi partai, yaitu “di depan bersikap baik, tapi saat lemah dan lengah, akan dicaplok dan dimakan habis”.

Sebelum SBY memproduksi name calling tersebut, Sekjen PD, Teuku Riefky Hasya, menyebut kedua kelompok itu sebagai “pengkhianat”, yang kemudian diikuti dengan reproduksi secara masif oleh elite dan kader Partai Demokrat untuk menyerang Surya Paloh, Anies Baswedan, serta Partai Nasdem, terkait dengan perilaku politik mereka.

Produksi dan reproduksi istilah untuk disematkan kepada politisi tertentu kerap terjadi sebagai bagian dari propaganda politik.

Pada setiap musim menjelang kontestasi demokrasi, pelabelan-pelabelan itu hampir pasti terjadi, bahkan kerap dengan tensi yang tinggi serta bertendensi menyerang personal.

Steiner (2011) mendefinisikan name caliing sebagai pemberian label kepada seseorang dengan tendensi negatif dan menghina.

Name calling (Sengani, 2018) merujuk pada tindakan memberikan pesan dari pemberi nama kepada penerimanya.

Hal ini mengandung maksud bahwa ada wacana di balik pemberian nama oleh seorang politisi, disesuaikan dengan konteks nama tersebut.

Sebagai teknik propaganda politik, name calling kerap digunakan untuk mengolok-olok, menyerang personal, men-down grade mental, mendegradasi moral, serta menjatuhkan citra lawan politik mereka.

Penggunaan teknik propaganda ini dimaksudkan agar lawan politik mendapatkan persepsi yang buruk, sehingga tidak dipercaya untuk meraih atau mempertahankan kekuasaannya.

Propaganda merupakan teknik penyampaian pesan yang mana telah direncanakan, disusun sedemikian mungkin agar efektif memengaruhi pandangan, sikap, dan perilaku orang lain.

Horald D. Laswell dalam karyanya Propaganda Technique in The World War (1927) menyatakan bahwa propaganda berfungsi mengontrol opini publik agar sesuai dengan yang diinginkan propagandis, dan name calling adalah salah satu pilihan strategi komunikasinya.

Jamaknya, name calling terjadi antara para politisi, dalam kapasitas mereka sebagai rival pada kontestasi politik.

Saat masuk masa-masa kampanye, name calling kerap diproduksi dalam jumlah yang lebih besar dibanding kondisi normal. Pasalnya pada masa kampanye, masing-masing kandidat saling menyadari bahwa mereka telah berada dalam “ring tinju”, bersiap untuk bertarung, demi meraih kemenangan.

Untuk tujuan itu, mereka harus memainkan strategi mengalahkan lawannya dengan segera. Pilihan strateginya tentu saja berbeda-beda, baik yang positif maupun negatif. Salah satu pilihan strategi yang kerap dilakukan adalah name-calling.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Yusril: Penambahan Kementerian Prabowo Bukan Bagi-bagi Kekuasaan, Tak Perlu Disebut Pemborosan

Nasional
BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

BPK di Pusara Sejumlah Kasus Korupsi...

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Diisi Orang Politik

Nasional
Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Pilkada 2024, Belum Ada Calon Perseorangan Serahkan KTP Dukungan ke KPU

Nasional
Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Ada Jalur Independen, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Gubernur Nonpartai?

Nasional
PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

PPP: RUU Kementerian Negara Masuk Prolegnas, tetapi Belum Ada Rencana Pembahasan

Nasional
Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Latihan Gabungan, Kapal Perang TNI AL Tenggelamkan Sasaran dengan Rudal Khusus hingga Torpedo

Nasional
Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Menag Cek Persiapan Dapur dan Hotel di Madinah untuk Jemaah Indonesia

Nasional
 Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Melalui Platform SIMPHONI, Kemenkominfo Gencarkan Pembinaan Pegawai dengan Pola Kolaboratif

Nasional
PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

PPP Anggap Wacana Tambah Menteri Sah-sah Saja, tapi Harus Revisi UU

Nasional
Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Eks KSAU Ungkap 3 Tantangan Terkait Sistem Pertahanan Udara Indonesia

Nasional
Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Mayoritas Provinsi Minim Cagub Independen, Pakar: Syaratnya Cukup Berat

Nasional
Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Soal Gagasan Penambahan Kementerian, 3 Kementerian Koordinator Disebut Cukup

Nasional
 Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Belum Diatur Konstitusi, Wilayah Kedaulatan Udara Indonesia Dinilai Masih Lemah,

Nasional
PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

PAN Setia Beri Dukungan Selama 15 Tahun, Prabowo: Kesetiaan Dibalas dengan Kesetiaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com